AirAsia Hilang
Menumbuhkan Asa di Tengah Duka Keluarga Korban AirAsia QZ8501
Selama pekan pertama sejak pesawat AirAsia QZ8501 hilang kontak pada akhir Desember 2014, keluarga penumpang pesawat itu berharap cemas menanti perkem
"Kami hanya menunggu kalau memang mau cerita, kami selalu ada. Beberapa orang mungkin sedih tapi lebih memilih diam, tidak apa-apa, kami tidak pernah memaksa," kata Ida.
Menurut Ida, pekan pertama sejak hilangnya pesawat AirAsia adalah masa paling berat yang harus dilalui keluarga. Pada saat itulah, mereka terus berharap anggota keluarga mereka selamat. Seiring dengan waktu, keluarga mulai bisa ikhlas merelakan kepergian orang-orang yang dikasihinya.
"Kami harus menguatkan mereka agar jangan terlalu larut dalam kesedihan. Kami harus tersenyum dan berempati di saat yang sama. Kami berikan pemahaman bahwa mereka harus kuat untuk menguatkan anggota keluarga lain yang juga ditinggalkan," ucap dia.
Hal senada juga dilakukan Frilya Rachma Putri, psikiater Rumah Sakit Umum Saiful Anwar Malang, yang tergabung dalam Perhimpunan Dokter Spesialis Kedokteran Jiwa (PDSKJ) Indonesia Jawa Timur. Dia dan dua orang rekannya hadir di sana karena terdorong untuk membantu mereka yang berdukacita.
"Kami memberikan pendampingan kepada semua keluarga korban dengan memberikan empati dan mendukung ketegaran juga mendorong rasa menerima keadaan ini yang harus dilewati dengan baik," ucap Firly.
Setidaknya, ada tiga orang psikiater yang berkeliling melihat kondisi kejiwaan keluarga korban dan membuka komunikasi dengan empati. Awalnya, kata Firly, keluarga tak menerima kehadiran psikiater, tetapi lambat laun mereka mulai terbuka.
Rasa empati menggerakkan semua relawan itu untuk datang membantu korban. Mereka hadir dengan senyuman, membantu menguatkan keluarga korban, dan memastikan bahwa mereka tidak seorang diri. Sebuah upaya menumbuhkan asa di tengah duka memang tidaklah semudah membalikkan telapak tangan. Namun, asa harus tetap dijaga untuk menatap hari esok.