Ketika Kearifan Adat Terabaikan

Menyedihkan, perang tanding sampai menelan korban jiwa harus terjadi antara warga Dusun Riang Bunga, Desa Lewobunga, dan warga Desa Lewonara

Editor: Alfred Dama
zoom-inlihat foto Ketika Kearifan Adat Terabaikan
POS KUPANG/SARIFAH SIFAH
Sekitar 12 korban luka berat dan ringan dirawat di RSUD Larantuka dan Puskesmas Waiwerang. Nampak dalam gambar, korban luka berat dan ringan yang dirujuk dari Puskesmas Waiwerang ke RSUD Larantuka. Gambar diambil, Rabu (13/11/2012) sore.
POS KUPANG.COM -- Menyedihkan, perang tanding sampai menelan korban jiwa harus terjadi antara warga Dusun Riang Bunga, Desa Lewobunga, dan warga Desa Lewonara, Kecamatan Adonara Timur, Kabupaten Flores Timur, Nusa Tenggara Timur. Bentrok berdarah itu berlangsung hingga em pat kali dari Oktober hingga pertengahan November 2012.

Bentrok mengakibatkan dua nyawa melayang dan puluhan orang luka-luka. Sejumlah fasilitas umum dan kendaraan dirusak serta puluhan rumah habis dibakar. Masalah ini bermuara dari sengketa tanah antara warga Riang Bunga dan Lewonara yang berlangsung lama tanpa penyelesaian yang jelas hingga saat ini.

Persoalan mulai memanas sekitar tahun 1992 ketika warga Riang Bunga mulai membangun permukiman secara swadayakini jumlah rumah di dusun tersebut sekitar 146 unit. Warga Riang Bunga dan Lewonara saling klaim bahwa tanah di dusun tersebut merupakan hak ulayat mereka.

Masalah semakin memanas ketika Bupati Flores Timur Yoseph Lagadoni Herin hendak meresmikan permukiman Dusun Riang Bunga pada 25 Juli 2012. Kaw asan Lewobunga merupakan basis kemenangan mutlak Yoseph dalam pilkada yang diusung oleh Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan.

Sepatutnya, bupati sebelum turun mengecek dahulu secara cermat terkait riwayat sejarah kawasan Riang Bunga dan status tanah ters ebut. Apalagi, tersiar kabar, banyak tanah di Riang Bunga sudah bersertifikat yang dikeluarkan oleh kantor pertanahan setempat. Padahal, tanah ulayat tidak diperjualbelikan.

Tokoh dan masyarakat Lewonara pun marah karena peresmian tersebut tidak melibatkan mereka selaku pemegang hak ulayat. Bupati lalu dihadang massa Lewonara sehingga peresmian pun batal.

Masyarakat Lewonara kemudian menuntut adanya pengakuan hak ulayat mereka secara tegas atas tanah Riang Bunga, yakni dengan mengumpulkan semua kepal a desa dan tokoh adat di Kecamatan Adonara Timur serta unsur musyawarah pimpinan kecamatan pada September 2012 di kantor bupati.

Akan tetapi, usulan tersebut lamban direspons oleh Pemerintah Kabupaten Flores Timur. Hingga kemudian masyarakat Lewonara memu tuskan memasang patok sendiri dan meletup perang tanding yang pertama tanggal 2 Oktober 2012.

Masyarakat Lewonara kemudian juga meminta Bupati dan Wakil Bupati Flores Timur untuk datang ke Adonara Timur pada 3 Oktober guna memfasilitasi penyelesaian sengketa tanah itu bersama para tokoh adat.

Namun, bupati dan wakil bupati lagi-lagi tidak hadir hingga kemudian bergolak bentrok kedua pada 4 Oktober 2012. Setelah bentrok, sedikitnya 300 personel dari kepolisian dan Brigade Mobil disiagakan di Riang Bunga.

Tim 9

Pascakonflik, Bupati kemudian membentuk tim khusus, begitu juga Gubernur NTT Frans Lebu Raya membentuk Tim 9 yang beranggotakan akademisi dan politisi dari Adonara Timur. Namun, hingga kini bisa dikatakan belum ada hasil sebagaimana yang diharapkan.

Kasus ini akan jauh lebih efektif diselesaikan oleh kedua belah pihak (Lewonara dan Lewobunga) dengan proses adat yang berlaku di Adonara Timur, ungkap Ketua Badan Permusyawaratan Desa Lewobunga Thomas Tupen di Flores Timur.

Dalam menyelesaikan kasus Riang Bunga ini terkesan ada semacam ketidaknetralan. Bahkan, ada yang berpendapat, kasus ini sengaja diolah untuk kepentingan Pilkada NTT tahun 2013 hingga pemanfaatan dana tak tersangka APBD Flores Timur sekitar Rp 1 miliar. Dana itu hanya digunakan untuk kontijensi bencana alam dan pengamanan. Namun, hasil akhirnya ternyata di luar skenario (fatal) alias tak terkendali sampai menelan dua korban tewas.

Penanganan kasus juga dinilai lamban karena sejak muncul reaksi keras masyarakat Lew onara pada 25 Juli 2012 dan usulan pertemuan adat di Adonara Timur tidak cepat direspons pemda. Pemkab Flores Timur juga seperti kurang tegas ketika masyarakat Lewonara mengusulkan memasang patok di Got Hitam, Dusun Riang Bunga, tanggal 10 November 2012 .

Pemkab Flores Timur hanya mengimbau pemasangan patok diundur tanggal 13 November 2012. Seharusnya kalau memang tim pemda sedang bekerja, pemasangan patok dilarang dulu agar tak memancing reaksi dari pihak lain.

Pemkab dan kepolisian Flores Timur kemudian juga menjamin keamanan pemasangan patok itu meski kenyataan di lapangan terjadi bentrok. Seusai pemasangan patok, tiba-tiba warga Lewobunga dapat menyerang truk yang ditumpangi sekitar 50 warga Lewonara.

Bentrok juga berlanjut pada 14 November 2012. Jatuhnya seorang korban tewas dari Lewonara membuat tokoh adat dan masyarakat Lewonara mengubah keputusan besar, yang hal itu justru mempersulit upaya perdamaian.

Kami semula hanya ingin ada pengakuan hak ulayat, tetapi dengan kejadian tanggal 13 November hingga ada seorang warga kami yang tewas, masyarakat Lewonara kini menuntut daerah Riang Bunga harus dikosongkan, ujar tokoh masyarakat Lewonara, Ade Paji.

Kejanggalan lainnya adalah Kepala Kepolisian Daerah NTT Brigadir Jenderal (Pol) HP Sitohang sebenarnya telah memerintahkan jajarannya untuk melakukan penyisiran atau perlucutan (sweeping) senjata milik masyarakat tanggal 1 November 2012.

Namun, fakta di lapangan, baik masyarakat Lewobunga maupun Lewonara masih saja berjaga-jaga dan menyimpan senjata. Mereka memiliki parang, tombak, panah, senjata api rakitan, senapan angin, panah, bom rakitan, bom molotov, dan mortir rakitan.

Kapolda kemudian secara tegas memerintahkan penyisiran senjata warga dan hal itu benar-benar dilaksanakan selama e mpat hari, mulai dari 14 November sampai 17 November 2012. Perlucutan senjata dilakukan oleh tim gabungan dengan melibatkan 150 personel TNI AD.

Ibarat perang, jangan serangan berhenti agar musuh tak berkutik. Begitu pula dalam penanganan sengketa tanah ini, pemda jangan bersikap lamban, apalagi setengah hati yang dapat membuat celah untuk mengaburkan upaya penyelesaian damai.

Apalagi, perlucutan senjata sudah dilakukan, Pemkab Flores Timur dan Pemerintah Provinsi NTT sepatutnya cepat bertindak dengan melakukan pendekatan adat. Dan, yang tak kalah penting, pemda harus netral dan tegas. (Samuel Oktora)

Sumber: Kompas.com
Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved