Budayawan Silvester Hurit : Buku “Di Jakarta Tuhan Diburu dan Dibunuh” Wajah Kultural Lamaholot
Silvester yang hadir sebagai salah satu pembedah memberi catatan menarik terhadap buku bernuansa kebangsaan karya Yogen itu.
Penulis: Ryan Nong | Editor: Rosalina Woso
Budayawan Silvester Hurit : Buku “Di Jakarta Tuhan Diburu dan Dibunuh” adalah Wajah Kultural Lamaholot
POS-KUPANG.COM | KUPANG -- Budayawan Lamaholot sekaligus pengamat seni pertunjukkan Indonesia Silvester Peta Hurit mengapresiasi tinggi buku Ontologi "Di Jakarta Tuhan Diburu dan Dibunuh". Buku yang ditulis penyair muda Indonesia kelahiran Flores Timur, Yogen Sogen itu dibedah di Pusat Dokumentasi Sastra HB Jassin, Taman Ismail Marzuki, Jakarta Pusat pada Senin (15/7/2019).
Silvester yang hadir sebagai salah satu pembedah memberi catatan menarik terhadap buku bernuansa kebangsaan karya Yogen itu.
Melalui perspektif budaya, Silvester dalam pandangannya mengatakan bahwa, di tengah gerak kemajuan dan segala tetek-bengek tentang kecanggihan dan kebaruan, Yogen menyumbang sesuatu dari kampungnya: segala ingatan, nilai, pengalaman, kisah tentang kampung halamannya.
Baginya, sosok Yogen istimewa, ketika orang kampung yang bermigrasi ke kota dan menjadi kekota-kotaan, Yogen ternyata menjadi semakin kampung justru ketika hidup dan tinggal di kota.
Jarak, lanjut Silvester memungkinkan ia menghidupkan segala kenangan, nilai-nilai dan pengalaman masa kecilnya secara lebih bening dan puitik. Bahwa kampung senantiasa menyimpan pesona dan misterinya sendiri.
Silvester mengurai, kampung halaman bukan sekedar tempat tinggal. Bagi penyair kampung halaman adalah jagat pengalaman, jagat nilai dan jagat makna.
Kampung halaman dan segala nilai yang tumbuh disana, juga aktivitas, simbol, mitologi, ruang dan lainnya adalah referensi, acuan dan dunia ideal atau sekedar pembanding dalam melihat dan memotret realitas kemanusiaan, problem sosial, politik, ekonomi dan sebagainya.
“Beberapa syair dalam buku ini tampak bertenaga dan begitu ketat menghadirkan realitas masyarakat adat Lamaholot, seperti pemaknaan terhadap alam, simbol, mitologi, ruang dan lainnya adalah referensi, acuan dan dunia ideal atau sekedar pembanding dalam melihat/memotret realitas kemanusiaan, problem sosial, politik, ekonomi dan sebagainya,” ungkap Silvester.
Hal itu ia sebut hadir dalam pemilihan diksi seperti "Koke”, “Lera Wulan Tanah Ekan”, “Jedo Pare Tonu Wujo”, “Belajar Dari Gunung”, “Bulan Keramat”, “Selendang Tenun Ibu”, Kesadaran ruang: Gunung-Laut, Kesadaran terhadap hidup: (meng)ada, waktu dan sejarah, soal kata, kejujuran dan kebenaran.
Dalam budaya Lamaholot, tegas Silvester, menipu sama dengan bolak tuber (memotong umur sendiri). Manusia hidup dan mati oleh koda (kata). Kata dan tindakan adalah seperti dua sisi mata uang.
“Konsepsi budaya Lamaholot: Gunung adalah tempat sakral (realitas awal mula) dan laut adalah simbol/metafora kesejahteraan/kemakmuran. Laut digambarkan sebagai medan hidup manusia. Panas menguapkan air menjadi awan, dijaring gunung menjadi hujan. Hujan adalah berkah di tengah alam yang kering dan curah hujan yang pendek,” Ujarnya.
Selain itu, silvester menggambarkan narasi besar yang tersembunyi dalam penggalan puisi dengan judul, “Belati Tua”. Menurutnya, puisi tersebut adalah kenangan yang paling detail dan menyentuh, terutama bahinya yang memahami konteks dan latar peristiwa kelahiran puisi ini.
Ini adalah kenangan akan sang ayah yang setia pada belati tua sebagai alat meraut bunga lontar demi menghasilkan tetes-demi tetes tuak manis sebagai susu dan yang juga diproses menjadi arak, dijual untuk menghidupi keluarga dan menyekolahkan anak-anak.
Untuk itu, saban hari di pagi dan sore sang ayah memanjat tangga bambu dari satu pohon ke pohon yang lain, menantang maut karena berada di pohon tuak yang tinggi demi hidup keluarga dan demi mimpi akan masa depan anak-anak yang lebih baik.