Berita Cerpen

Cerpen Yosep L Lanang : Gerimis Tipis di Ujung Jembatan Kolna'i

Langit kembali jingga, aku masih setia duduk di ujung jembatan Kolna'i yang menghadap ke selatan.

Penulis: PosKupang | Editor: Apolonia Matilde
ils/menggumam.com
gerimis tipis 

LANGIT kembali jingga, aku masih setia duduk di ujung jembatan Kolna'i yang menghadap ke selatan. Senja yang mungkin saja menghadirkan dirimu, aku selalu di sini.

Terakhir aku membaca 'SMS' darimu, kau akan pulang dengan membawa kehidupan yang layak. Katamu mungkin di suatu petang. SMS terakhir yang kau kirim, aku baca di samping tempat tidurmu.

Entah di senja ke berapa kau akan datang. Tiap mentari mulai kembali ke peraduannya, aku selalu mengingatmu saat kita bersama menatap jauh ke lautan dan mendengar riak-riak gelombang menerpa pasir yang berbuih di kala senja hampir berlalu.

Bayern Munich Pangkas Jarak dengan Dortmund ! Bantai Stuttgart 4-1

Aku menunggu sosokmu berjalan pulang ke arahku dengan senyuman manismu. Dengan menenteng tas yang sama ketika kau akan pergi.

Kau akan berteriak-teriak dari kejauhan memanggil namaku, "George.... George .." Aku mengkhusukkan pendengaran sambil memicingkan mata, melawan sorot sayu mentari senja.

Dan aku akan segera berlari menjemputmu, membangunkan imajinasi dan bersama memadu kasih di ujung jembatan itu.
Bara api dari sebatang rokok yang terselip di sela jari, membuatku kaget dan tersadar.

Nampak hanya lambaian ilalang yang seirama dengan helai rambutku, tak terlihat sosokmu. Riuh angin di angkasa menerbangkanku dalam permainannya, menenggelamkan sebuah penantian yang larut dalam khayal, sekejap pupus kemudian kembali utuh. Diikuti kerinduan yang terus saja menggelitik detik waktu.

Belum lagi jeritan suara pilu terdengar sayup di sebelahku, yang tak henti mengeja namamu, "Taaniia.." seolah mengingatkanku akan dirimu.

Meski tidak begitu jelas ucapan itu, tapi aku yakin pasti dia menyebut namamu. Mungkin dia begitu menghayati sebuah kerinduan panjang seperti diriku. Gerimis tipis di ujung jembatan perbatasan negara itu, seolah mengajakku pulang ke kamar sepiku, dan akupun pergi.

Aku kembali menyeruput kopi, menyulut kembali rokok. Mataku memaku ke pohon Oak Putih yang menjulang tinggi di belakang padang ilalang. Di bawah jingga yang mulai bercampur bercak merah, pada gumpalan awan yang menaungi hamparan alam.

Aku masih bisa melacak ingatan dengan baik tentang pohon itu. Dulu kau sering mengajakku ke sana jika musim panas tiba. Kita membuat gubuk kecil dari kayu beratap rumbia. Kadang kita menginap, bila pohon Oak itu berbuah lebat dan mulai berjatuhan.

Nafsu Ingin Nikahi Selingkuhan Berakhir Tragis, Istri Bikin Skenario Tebas Suami Hingga Tewas

Kau akan mencari kayu bakar untuk bekal mengusir nyamuk hutan yang lapar. Sedang aku, kau bekali ketapel untuk mengusir tupai-tupai yang sering mengganggu kebersamaan kita. Sampai malam menjelang dengan penerangan obor serta cahaya rembulan yang tertutup rimbun pepohonan, kau akan bercerita pengalamanmu.

Bagaimana kau menggembala sapi semasa kecilmu, berjualan botol-botol bekas, serta bagaimana kau berhasil dalam studimu. Sesekali ceritamu terpotong, bila terdengar sebuah bunyi keras menghantam semak-semak.

Kau menyalakan sebatang rokok dengan hisapan yang cukup panjang. Telunjukmu, kau acungkan bergeser ke sekeliling pepohonan. Kau akan kembali mengatakan tentang asal-usul pohon Oak itu. Yang katamu kakekku lah yang menanamnya, kau hanya melanjutkan untuk merawat.

"Usia pohon itu lebih tua beberapa bulan dari usiaku," katamu dengan disusul tawa yang menurutku bukanlah sebuah lelucon lucu.

Halaman
123
Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved