Berita Regional
Saat Gerindra dan PKS Berebut Jabatan Wagub DKI
Perebutan jabatan Wakil Gubernur DKI Jakarta antara Partai Gerindra dan Partai Keadilan Sejahtera (PKS) semakin terbuka.
POS-KUPANG.COM | JAKARTA - Perebutan jabatan Wakil Gubernur DKI Jakarta antara Partai Gerindra dan Partai Keadilan Sejahtera (PKS) semakin terbuka.
Dalam perkembangan terbaru terungkap bahwa Ketua DPD Gerindra DKI Jakarta, Mohamad Taufik, telah menyetujui dua nama kader PKS sebagai penganti Sandiaga Uno.
Namun Taufik menyatakan, persetujuan itu tidak sah secara administratif. Kedua partai berebut posisi Wakil Gubernur DKI setelah Sandiaga Uno, yang dulu diusung Gerindra dan PKS pada Pilkada DKI 2017, menyatakan mundur dari jabatan itu karena ingin maju sebagai calon wakil presiden pada Pemilu Presiden 2019.
Baca: Indro Warkop Siap Jual Rumah untuk Pengobatan Istrinya
Persetujuan Taufik yang kemudian dianggap tidak sah itu merujuk pada peristiwa pada 10 Agustus 2018, di ruang tunggu Komisi Pemilihan Umum (KPU).
Saat itu merupakan waktu pendaftaran calon presiden dan wakil presiden usungan Gerindra dan PKS, yaitu Prabowo Subianto dan Sandiaga Uno.
Ketua Fraksi Partai Gerindra DPRD DKI Jakarta, Iman Satria menceritakan apa yang terjadi hari itu.
Menurut dia, saat itu Wakil Sekjen DPP PKS Abdul Hakim menyodorkan surat kepada Mohamad Taufik.
Surat itu berisi kesepakatan bahwa posisi wakil gubernur akan diisi oleh kader PKS. PKS sudah mencantumkan dua nama kadernya yang akan diajukan sebagai kandidat wagub.
"Nama yang diajukan (PKS) itu Mardani Ali Sera sama Nurmansjah Lubis," kata Satria, Kamis (23/8/2018) kemarin.
Mardani Ali Sera merupakan Ketua DPP PKS sementara Nurmansjah Lubis anggota DPR daerah pemilihan DKI Jakarta dari PKS.
Mohamad Taufik mengaku menandatangani surat itu. Namun belakangan dia mengatakan penandatangan itu terjadi agar tidak terjadi keramaian di ruang VIP pada waktu itu.
"Supaya enggak ramai saja di VIP room," ujar dia. Tidak sah Meski menandatanganinya, Taufik mengatakan surat kesepakatan itu tidak sah karena tidak ada tanda tangan sekretaris DPD Gerindra, stempel, maupun materai dalam surat tersebut.
"Menurut saya tidak sah kesepakatan itu, apalagi sekretaris saya enggak tanda tangan," ujar Taufik.
Ia mengatakan, pembuatan kesepakatan di internal Gerindra dilakukan dengan rapat terlebih dahulu. Kesepakatan harus tertulis dengan tanda tangan ketua dan sekretaris. Tidak bisa dilakukan secara mendadak seperti yang terjadi di ruang VIP itu.
"Kan kalau saya membuat keputusan itu harus berdasarkan rapat, enggak di tengah jalan. Bukan keputusan warung kopi," kata Taufik.