Begini Jadinya Bila Lagu Dipakai sebagai Sarana Kepentingan Politik
Tak terbantahkan lagi bahwa kini lagu menjadi salah satu instrumen andalan untuk menggenjot suara dalam pentas elektoral.
Oleh: Inosentius Mansur
Pemerhati sosial-politik dari Seminari Ritapiret Maumere
"Apa gunanya renda-renda kesenian jika terlepas dari derita lingkungannya?"
(Rendra -Sajak Sebatang Lisong, 1997).
POS-KUPANG.COM - Kemunculan lagu menjelang perhelatan elektoral bukanlah hal baru dalam perpolitikan kita. Baik dalam perhelatan politik nasional maupun daerah, lagu seringkali dijadikan sebagai sarana untuk mencapai kepentingan politik.
Sebut saja lagu "Salam Dua Jari" yang diciptakan oleh kelompok Slank untuk mendukung Jokowi-JK di Pilpres 2014, berhasil hits dan membantu pasangan tersebut memenangkan kontestasi bergengsi itu.
Setelah hampir empat tahun berlalu, lagi-lagi lagu menjadi intrumen elektoral menjelang Pilpres 2019.
Tak terbantahkan lagi bahwa kini lagu menjadi salah satu instrumen andalan untuk menggenjot suara dalam pentas elektoral. Yang paling heboh adalah lagu: "Ganti Presiden #2019" yang diciptakan dan diviralkan oleh sekelompok oposisi Jokowi.
Lagu itu diciptakan dan dinyanyikan oleh musisi dan politikus papan atas negeri ini. Lagu tersebut cukup provokatif karena diksi-diksi didalamnya amat sensitif bahkan bombastis.
Meskipun ada beberapa usaha dari kelompok pro-Jokowi yang menangkis serangan lewat lagu itu dengan menciptakan lagu tandingan, tetapi lagu tersebut terlanjur viral dan menjadi salah satu alat politik kelompok oposisi yang cukup fenomenal dan kontroversi.
Politisasi Lagu
Menggunakan lagu sebagai sarana untuk mendapatkan keuntungan elektoral bukanlah sesuatu yang patut dipersoalkan. Bahkan menurut saya, itu adalah fenomena demokrasi yang patut diapresiasi.
Toh, semua orang bebas menggunakan sarana apa saja untuk mencapai kepentingan politik, asalkan itu masih dalam etika dan koridor berdemokrasi.
Namun demikian, lagu yang diciptakan itu mesti merupakan narasi secara seni dari kenyataan empirik. Dengan kata lain, lagu itu adalah dialektika antara seni, politik dan fakta-fakta sosial. Lagu, betapapun itu adalah ungkapan seni dan manifestasi perasaan, harus tetap memaparkan tesis-tesis yang sudah ada dalam kenyataan.
Betapapun merupakan bentuk kritik sosial, tetapi tidak boleh mengedepankan aspek-aspek yang berpotensi merobek kebinekaan.
Itu berarti lagu itu mesti menampilkan karakter perpolitikan kita yang Pancasilais dan berbasiskan Undang-Undang Dasar 1945. Lagu sebagai sarana kampanya politik, mesti mengedepankan kritik secara elegan.
Di dalam setiap kata yang diungkapkan mesti merupakan representasi atau mengakomodir keprihatinan dan disparitas sosial. Dan jika dijadikan sebagai instrumen untuk mempromosikan figur tertentu, maka narasi-narasinya harus tetap berbasiskan kebenaran, tanpa berusaha menyebarkan fitnah dan hoaks.