Observatorium Timau di Amfoang Terancam Batal Dibangun, Ini Penyebabnya
Kehadiran Observatorium Gunung Timau menggantikan Observatorium Boscha di Lembang, Provinsi Jawa Barat yang usianya sudah sangat tua.
Penulis: Edy Hayong | Editor: Alfons Nedabang
Laporan Reporter POS-KUPANG.COM, Edy Hayong
POS-KUPANG.COM | OELAMASI - Rencana pembangunan Observatorium di Gunung Timau, Desa Fatumonas, Kecamatan Amfoang Tengah, Kabupaten Kupang, Nusa Tenggara Timur (NTT) terancam batal. Proyek Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (Lapan) ini terkendala masalah tanah seluas 30,25 hektar.
Diwacanakan sejak tahun 2016, proyek senilai Rp 300 miliar lebih ini mestinya sudah dilakukan peletakan batu pertama oleh Presiden Joko Widodo (Jokowi) pada tanggal 5 Mei 2018, tapi belum terlaksana.
Kehadiran Observatorium Gunung Timau menggantikan Observatorium Boscha di Lembang, Bandung, Provinsi Jawa Barat yang usianya sudah sangat tua.

Warga bersama tokoh adat dan tokoh masyarakat Amfoang Tengah menegaskan bahwa mereka bukan menolak pembangunan obsevatorium. Tetapi mereka menilai langkah awal Pemerintah Kabupaten Kupang keliru.
Pemerintah meminta pemilik lahan menandatangani berita acara soal lahan tetapi isi berita acaranya berupa hibah. Hal tersebut membuat warga belum menerima pembangunan observatorium.
Warga mendesak persoalan tanah diselesaikan sesuai aturan yang berlaku. Selain itu, warga mengharapkan pertemuan dilakukan terus-menerus, bukan hanya sekali.
Terkait masalah tanah, sejumlah tokoh adat dan tokoh masyarakat Amfoang Tengah, di antaranya Beyamin Banu, Yakobus Tamnanu dan Thom Kameo bertemu dengan Bupati Kupang, Dr. Ayub Titu Eki. Pertemuan berlangsung di Kantor Bupati Kupang, Senin (4/6/2018) lalu.

Benyamin Banu menjelaskan, dia yang melaporkan persoalan tanah ini ke aparat penegak hukum. Menurutnya, penyerahan tanah adat untuk pembangunan observatorium pada awalnya berjalan kurang bagus.
Sebagai keluarga Banu yang memiliki hak atas tanah tersebut, lanjut Benyamin, pihaknya keberatan karena pada saat proses penyerahan tanah, dua orang anak dari keluarga Banu dipanggil untuk menandatangani surat pernyataan atas hak kepemilikan. Namun surat pernyataan itu berisi tentang hibah.
Menurutnya, penandatanganan surat pernyataan tidak resmi dan bermartabat tetapi dilakukan di Pos Polisi Pamong Praja dan rumah jabatan Bupati Kupang.
Dikatakannya, dalam kurun waktu dua tahun berjalan, diberi ruang untuk melihat surat pernyataan itu. Karena tidak ada penyelesaiannya maka di tahun 2017, pihaknya menyurati berbagai pihak termasuk tembusannya ke Presiden Jokowi.

Atas dasar itu sehingga rencana peletakan batu pertama pembangunan obsevatorium yang diagendakan tanggal 5 Mei 2018 dibatalkan Jokowi.
Benyamin mengatakan, pihaknya terus membangun komunikasi dengan Bupati Kupang agar proses pembangunan harus sesuai mekanisme dan aturan yang berlaku. Jika proses administrasi dilakukan sesuai aturan tentu masyarakat akan menerima dengan senang hati kehadiran obsevatorium.
"Tapi kalau tidak sesuai mekanisme aturan maka tentu kami akan tolak. Makanya kami datang bertemu Pak bupati sebagai bapak, orangtua yang kami hormati. Dari dialog bersama Pak bupati, sudah disampaikan bahwa persoalan ini karena ada kesalahan yang dilakukan bawahan soal surat yang ditandatangani itu. Selama proses ini, kami merasa tidak dihargai karena nama kami tidak dicantumkan termasuk nama desa kami juga tidak dicantumkan. Kami datang untuk sampaikan bahwa kalau ada hal yang robek kita duduk bersama untuk jahit kembali," kata Benyamin.
