DPR RI Harus Bertanggungjawab Terhadap Belum Disahkannya UU Tindak Pidana Terorisme

DPR RI harus bertanggungjawab karena diduga "menyandera" UU No 15 Tahun 2003 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme.

Penulis: Oby Lewanmeru | Editor: Rosalina Woso
zoom-inlihat foto DPR RI Harus Bertanggungjawab Terhadap Belum Disahkannya UU Tindak Pidana Terorisme
net
Petrus Salestinus, SH

Laporan Reporter POS-KUPANG.COM, Oby Lewanmeru

POS -KUPANG.COM|KUPANG -- Perisitiwa penyanderaan dan pembunuhan anggota Brimob di Mako Brimob Kelapa Dua beberapa hari yang lalu dan perisitiwa Bom Bunuh Diri di beberapa gereja di Surabaya, harus menjadi catatan penting bagi Pemerintah dan DPR RI .

DPR RI harus bertanggungjawab karena diduga "menyandera" UU No 15 Tahun 2003 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme.

Hal ini disampaikan Koordinator Tim Pembela Demokrasi Indonesia, Petrus Selestinus, Selasa (15/5/2018).
Menurut Selestinus, DPR RI harus bertanggungjawab karena sebagai lembaga yang diduga menyandera UU Tindak Pidana Terorisme, sehingga sampai saat ini UU itu juga belum disahkan.

Baca: Aliansi di Malaka Tak Hanya Bakar Lilin Tapi Orasi dan Baca Pernyataan Sikap

Baca: Mahasiswa Sekolah Tinggi Pastoral KAK Ikuti Kamping Rohani Di Taman Ziarah Yesus Maria Oebelo.

"Peristiwa di Mako Brimob dan di Surabaya menuntut kita semua untuk mengevaluasi kembali model penanggulangan kejahatan terorisme oleh institusi Polri dan Badan Intelijen Negara(BIN).Alasannya karena kejadian teror bom secara susul menyusul, dilakukan secara terbuka dan nekad sebagaimana terjadi di Rutan Mako Brimob Kelapa Dua dan menewaskan sejumlah anggota Brimob beberapa waktu yang lalu, tidak terlepas dari lemahnya Penegakan Hukum dan lemahnya UU No. 15 Tahun 2003," kata Selestinus.

Dijelaskan, peristiwa itu menjadi bukti bahwa aksi para teroris di lapangan jauh labih maju ketimbang BIN dan Polri.

Baca: Aliansi di Malaka Tak Hanya Bakar Lilin Tapi Orasi dan Baca Pernyataan Sikap

Baca: PLN Labuan Bajo Bersedia Bongkar Kembali Tiang Listrik di Trotoar Tetapi ini Persyaratannya

Polri dan BIN dinilai lemah bahkan lalai mengantisipasi gerakan para teroris, karena itu harus dicarikan apa akar masalahnya sehingga teroris selalu bergerak lebih maju satu langkah ke depan ketimbang aparat keamanan kita.

"Ini berarti ada yang salah di dalam pengelolaan dan penanggulangan masalah Lapas bagi Napiter dan masalah penanggulangan dan penindakan para pelaku teror terkait tugas dan wewenang Polri, TNI dan BIN yang dihubungkan dengan keberadaan UU No. 15 Tahun 2003 Tentang Terorisme yang meskipun baru berumur 15 (lima belas) tahun, tetapi dinilai sudah tidak mampu menjawab tantangan jaman dan kebutuhan operasional aparat keamanan di lapangan," jelasnya.

Dikatakan, sejak peristiwa serangan bom di Kawasan Sarinah, Jln. M.H. Thamrin, Jakarta Pusat pada tanggal 14 Januari 206 lalu, para pemangku kepentingan (Polri, TNI, BIN) sudah meminta agar revisi UU No. 15 Tahun 2003 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme dipercepat bahkan menjadi kebutuhan yang sangat urgent, karena sejumlah ketentuan di dalam UU No. 15 Tahun 2003 sudah tidak mampu menjawab tantangan dan kebutuhan aparat hukum di lapangan.

" Bahkan menjadi penghambat dalam tugas operasional, terutama ketika aparat hendak menindak gerakan kelompok teroris yang hendak melakukan aksi bom. Kemampuan dan kecepatan bertindak para teroris lebih canggih dari pada daya jangkau aparat menurut UU No. 15 Tahun 2003 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme yang menjadi pijakan aparat Penegak Hukum kita, namun DPR RI seolah-olah menyandera proses revisi ini pada perdebatan untuk hal-hal yang tidak substansial," katanya.

Dia mempertanyakan, siapa yang harus disalahkan dari sikap tarik ulur pembahasan atas sejumlah ketentuan atau pasal di dalam revisi UU No. 15 Tahun 2003 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme. Tentu DPR menjadi biang masalah, karena pembahasan di DPR memakan waktu berlarut-larut akibat perbedaan kepentingan dan cara pandang, sehingga revisi UU No. 15 Tahun 2003 mengalami kelambatan bahkan telah banyak memakan korban jiwa.

"Tarik ulur pembahasan seperti ini, mengindikasikan bahwa di dalam tubuh Lembaga Legislatifpun kekuatan radikalisme dan intoleransi sudah menancapkan pengaruhnya, bahkan sejumlah Partai Politik diduga kuat menempatkan kader-kadernya yang berorientasi pada radikalisme dan intoleransi dengan berlindung di balik alasan HAM, sehingga produk hukum yang dihasilkan akhir-akhir ini terkait terorisme dan radikalisme cenderung memberi ruang gerak yang luas bagi berkembangnya radikalisme dan intolernasi," ujarnya.(*)

Sumber: Pos Kupang
Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved