Inilah Catatan Menarik Tentang Katolik dan Protestan dari Katekis Keuskupan Agung Kupang
Parah. Baku marah. Pernah sampai tumpah darah. Upaya damai pernah ada. Damai sementara. Tidak lama. Baku musuh
Oleh: Anton Bele
Katekis Keuskupan Agung Kupang
POS KUPANG.COM - Dua bersaudara saling beri saran. Tujuannya baik, mau lebih baik. Apa daya. Salah paham. Tidak terima baik. Dua belah pihak teguh pada pendirian. Pisah. Suasana panas. Dua rumah terpisah. Bapa mama bilang sama anak-anak, jangan bergaul. Ceritera buruk tentang saudara jadi bahan sehari-hari.
Saling mengintip, siapa salah, siapa benar. Saling mengolok, saya benar, dia salah. Anehnya, dua bersaudara tetap akui, saudara kandung. Keadaan ini terus menular ke segala arah.
Parah. Baku marah. Pernah sampai tumpah darah. Upaya damai pernah ada. Damai sementara. Tidak lama. Baku musuh terbuka dan terselubung jalan terus.
Satu bilang begini, satu bilang begitu. Ceritera yang baik tentang saudara sendiri kurang sekali. Yang jelek, yang salah, itu yang diulang-ulang sampai timbul rasa benci yang mendalam antara dua saudara kandung ini.
Lima ratus tahun, lima abad. Lama. Dari generasi ke generasi, baku lihat hanya dari jauh ini jalan terus. Tapi dalam hati kecil, mereka tetap yakin, kami bersaudara, satu asal, satu pegangan. Pergaulan masih dibatasi. Baku salam pun sering malu-malu.
Apa lagi omong-omong. Hati-hati. Takut salah, takut menyinggung. Jaga jarak, jaga perasaan. Lima ratus tahun jaga jarak terus, tidak tahu sampai kapan. Akhir-akhir ini ada kemajuan. Mulai baku tegur, mau ke mana? Ada baik-baik ko? Sudah sering saling beri kabar kalau ada acara suka maupun duka. Datang, hadir. Sama-sama.
Saling tolong kalau ada susah. Ikut gembira kalau ada pesta. Rasa bersaudara itu semakin nampak dalam hidup harian. Pikiran jelek mulai pudar. Kata-kata kasar sudah jarang terlontar. Jalan biasa, saling tegur, duduk sama-sama, sering tertawa dalam gurauan segar. Itulah hidup bersaudara.
Lima ratus tahun. Keadaan di atas ini menurut sejarah, terjadi pada tahun 1500 ke atas. Di Eropa. Puncaknya pada tanggal 31 Oktober 1517, di Jerman, di satu kota kecil, Wittenberg.
Di sana, Pater Martin Luther mengumumkan 95 dalil yang perlu ditinjau kembali pimpinan Gereja Katolik.
Pater Martin Luther adalah imam anggota Ordo Agustinian, Profesor, Doktor di bidang Teologi, mengajar di Universitas Wittenberg. Martin Luther menulis 95 dalil atau tesis itu sebenarnya sebagai reaksi atas isi ajaran yang disebarkan dalam kotbah-kotbah dari Pater Johann Teztel, seorang Doktor Teologi, anggota Ordo Dominikan. (John Laux, Church History, 1989, pp.163-194).
Peristiwa pengumuman 95 dalil oleh Pater Martin Luther pada 31 Oktober 2017 akan genap lima ratus tahun. Jangka waktu 500 tahun, 1517 sampai 2017, satu rentang waktu yang sangat lama. Hidup terpisah, Katolik dan Protestan.
Sebenarnya istilah Protestan dipakai dalam kalangan Gereja Katolik pada waktu itu untuk membedakan pengikut Pater Martin Luther sebagai tokoh penggagas protes terhadap ajaran resmi yang dianut Gereja Katolik.
Terjadilah dua kelompok, Katolik lawan Protestan. Kita di Indonesia pun pun mengalami perpisahan itu. Istilah dibiasakan: Misi dan Zending. Padahal, Misi dari kata Latin, missio artinya perutusan, Zending, kata bahasa Belanda, artinya perutusan.
Menurut sumber sejarah, Pater Martin Luther bukan menempelkan 95 dalil itu di pintu Gereja di Wittenberg, tetapi mengirim naskah berisi 95 dalil itu kepada Uskup Agung Albert yang berusia muda, 23 tahun, yang memimpin Keuskupan Agung Mainz.