Peran Pendidik Masih Kurang untuk Kesehatan Gigi

KUPANG, POS KUPANG.Com--Kualitas kesehatan gigi dan mulut pada anak di Propinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) masih sangat kurang. Ini ditandai oleh masih tingginya kerusakan gigi atau caries gigi pada anak. Peran orangtua dan pendidikan juga masih dirasakan sangat kurang untuk menjaga kualitas kesehatan mulut dan gigi.

KUPANG, POS KUPANG.Com--Kualitas kesehatan gigi dan mulut pada anak di Propinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) masih sangat kurang. Ini ditandai oleh masih tingginya kerusakan gigi atau caries gigi pada anak. Peran orangtua dan  pendidikan juga masih dirasakan sangat kurang untuk menjaga kualitas kesehatan mulut dan gigi.

Ketua Jurusan Kesehatan Gigi (JKG), drg. Jefferey Jap, mengatakan hal itu dalam laporannya pada Workshop Program Ipteks Bagi Wilayah NTT Untuk Pembangunan Keluarga Khususnya Anak Usia Dini yang Menderita Penyakit Mulut dan Gigi Melalui Pendekatan UKGS Inovatif di Aula JKG- Politeknik Kesehatan-Kementerian Kesehatan, Penfui-Kupang, Selasa (15/6/2010).

Kegiatan ini menghadirkan pembicara Direktur Pusat Kajian Administrasi dan Kebijakan Kesehatan-Fakultas Kesehatan Masyarakat (FKM) Universitas Indonesia, dr. Adang Bactiar, MPH, Dsc. Sementara para peserta terdiri dari 60 orang tenaga medis gigi dari Kota Kupang, Kabupaten Kupang, Timor Tengah Selatan (TTS) dan Timor Tengah Utara (TTU), 12 orang guru TK dan SD serta mahasiswa JKG Poltekes Kemenkes Kupang.

Jeffrey menjelaskan, tingkat kerusakan gigi anak-anak di Propinsi NTT sangat tinggi. Perhatian pemerintah, masyarakat dan orangtua yang minim menjadikan angka kerusakan gigi menjadi sangat tinggi. "Peran masyarakat dan tenaga pendidik di sekolah dirasakan masih kurang aktif dalam menciptakan kebiasaan anak membersihkan gigi sedari awal. Kebanyakan orangtua masih beranggapan bahwa perawatan gigi susu pada anak diangap tidak perlu, padahal nantinya gigi susu adalah pembimbing erupsi gigi tetap," jelasnya.

Menurutnya, kelompok anak sekolah adalah kelompok usia yang masih rentan dan sangat perlu diberi perlindungan sedini mungkin terhadap penyakit mulut dan gigi. Karena pada usia tersebut, anak berada dalam masa pertumbuhan, baik secara fisik, mental maupun intelektual. "Saat usia 2-5 tahun merupakan fase yang paling aktif, terutama pada perkembangan otak anak yang dikenal sebagai masa kemasan anak atau golden age," jelasnya.

Ditambahkannya, pada rentang usia 6-12 tahun adalah masa yang kritis bagi anak dimana pada usia inilah anak mengalami gigi bercampur yaitu masa pergantian gigi susu yang diganti gigi tetap. Pada masa ini sering terjadi masalah mulai dari gigi lubang, posisi gigi yang salah, pembengkakan hingga peradangan.

Dijelaskannya, pelayanan JKG Polteks Kemenkes Kupang dalam memberikan pelayanan pada anak usia SD masih menggunakan UKGS (Usaha Kesehatan Gigi Sekolah) tradisional. Efek pendekatan ini masih kurang akomodatif terhadap perkembangan, tidak efektif karena penyakit gigi tetap saja ada. Sementara pengurangan penyakit tidak efektif dan tidak efisien karena hanya mengurangi kegiatam jam belajar siswa.


Jefferey menjelaskan, pihak JKG dan puskemas perlu menyikapi masalah-masalah tersebut agar tetap diminati dan bukan ditolak oleh siswa SD. "Cara ini dengan melakukan pendekatan secara komprehensif, terpadu untuk merevitalisasi UKGS SD binaan dengan pendekatan lebih efektif dan efisien yang disebut UKGS inovatif," jelasnya.

Dijelaskannya, tujuan workshop tersebut antara lain meningkatkan kesadaran dan pengetahuan masyarakat tentang pentingnya kesehatan mulut dan gigi sehingga bisa memelihara mulut dan gigi.(alf)

Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved