Opini

Opini: Dilema MBG dan Kasus Keracunan

Epidemik ini terjadi karena kegagalan sistem sanitasi pada pasokan air publik yang terkontaminasi oleh bakteri Salmonella typhi. 

Editor: Dion DB Putra
POS-KUPANG.COM/HO-DOK PRIBADI
Inosensius Enryco Mokos 

Oleh: Inosensius Enryco Mokos
Dosen Ilmu Komunikasi dan Filsafat ISBI Bandung - Jawa Barat 

POS-KUPANG.COM - Program Makan Bergizi Gratis (MBG), sebuah inisiatif yang digagas Pemerintah Indonesia saat ini, bertujuan utama mengatasi masalah kekurangan gizi dan stunting pada anak usia sekolah.

Program ini merupakan cerminan komitmen serius pemerintah terhadap pembangunan sumber daya manusia Indonesia di masa depan. 

Harapan utama program ini sangat mulia: memastikan setiap anak mendapatkan asupan nutrisi yang memadai sehingga dapat berfokus pada pembelajaran dan tumbuh kembang secara optimal. 

Baca juga: Opini: Paradoks Cassandra dalam MBG

Di sisi lain, eksekusi program di lapangan dalam beberapa minggu terakhir telah menghadapi realitas yang menyedihkan dan kontraproduktif: serangkaian kasus keracunan massal yang terjadi secara berulang di berbagai daerah. 

Kontras antara niat baik pemerintah dan kegagalan sistemik dalam menjaga keamanan pangan telah menimbulkan kekhawatiran nasional, menuntut evaluasi total terhadap sistem tata kelola dan pengawasan.

Kasus Keracunan yang Serius

Sejak diluncurkan, program MBG telah menunjukkan potensi besar, namun juga menyingkap kerentanan yang fatal dalam rantai pasokan dan persiapan makanan. 

Menurut data terbaru dari Badan Gizi Nasional (BGN) per 25 September 2025, tercatat sedikitnya 5.914 siswa di seluruh Indonesia yang mengalami gejala keracunan setelah mengkonsumsi menu MBG. 

Jumlah ini terakumulasi dari sekitar 70 kasus yang dilaporkan sejak Januari hingga September 2025, dengan lonjakan signifikan terjadi pada bulan Agustus dan September. 

Angka ini terbagi di Wilayah I (Sumatera) sebanyak 1.307 korban, Wilayah II (Jawa) 3.610 korban, dan Wilayah III (Kalimantan, Sulawesi, Indonesia Timur) 997 korban. 

Sementara itu, masalah pada dapur Satuan Pelayanan Pemenuhan Gizi (SPPG) menunjukkan lemahnya sistem sanitasi dan sertifikasi; sebuah laporan mencatat bahwa dari 8.583 dapur MBG, hanya 34 dapur yang memiliki Sertifikat Laik Higienis Sanitasi (SLHS) resmi, menunjukkan bahwa mayoritas dapur beroperasi tanpa standar kebersihan yang ketat.

Faktor utama yang menyebabkan keracunan makanan ini terjadi berulang kali dan menyebar hampir di seluruh Indonesia, bersumber dari dua masalah sentral: kontrol waktu dan higienitas. 

Kasus di Nusa Tenggara Timur misalnya yang menimpa 140 korban pada Juli 2025 menunjukkan bahwa kesalahan teknis pada SPPG, seperti memasak terlalu dini ( bahkan sejak malam hari) dan mendistribusikannya keesokan harinya, menciptakan zona bahaya suhu (danger zone). 

Dalam rentang waktu yang lama tersebut, bakteri patogen seperti Clostridium perfringens atau Staphylococcus aureus memiliki waktu optimal untuk berkembang biak dan memproduksi toksin. 

Faktor ini diperburuk oleh kontaminasi silang, sanitasi alat dapur yang buruk, dan kurangnya pelatihan bagi juru masak dan pengemas, yang sering kali merupakan mitra baru tanpa pengalaman memproduksi makanan dalam skala besar. 

Ketidakmampuan SPPG mengelola logistik dari proses memasak ke konsumsi dalam batas waktu aman ( idealnya kurang dari dua jam) adalah penyebab utama insiden yang berulang ini.

Terlepas dari krisis keracunan, program MBG memiliki keunggulan sosial ekonomi yang signifikan dan berdampak positif, baik secara nasional maupun lokal di setiap daerah. 

Secara nasional, program ini berfungsi sebagai jangkar pasar bagi petani dan peternak lokal, meningkatkan permintaan bahan pangan segar seperti beras, telur, sayuran, dan daging, yang pada gilirannya menstabilkan harga komoditas dan memicu pertumbuhan ekonomi daerah. 

Secara lokal, program ini telah membuka lapangan pekerjaan baru dalam rantai suplai makanan. 

Mulai dari pedagang pasar yang menjadi pemasok bahan baku, ibu-ibu rumah tangga yang dipekerjakan sebagai juru masak dan pengemas di SPPG, hingga tenaga kerja pendukung seperti pencuci piring dan petugas distribusi. 

Dengan demikian, MBG tidak hanya sekadar program gizi, tetapi juga instrumen pembangunan ekonomi inklusif.

Quo Vadis MBG?

Kasus keracunan massal MBG ini, meskipun modern, memiliki kemiripan tragis dengan peristiwa keracunan makanan besar di masa lampau, yang menunjukkan bahwa kegagalan higienitas dalam penyediaan makanan skala besar adalah isu abadi. 

Salah satu contoh peristiwa sejarah yang sebanding adalah Epidemi Tipus di Croydon, Inggris, pada tahun 1937. 

Epidemik ini terjadi karena kegagalan sistem sanitasi pada pasokan air publik yang terkontaminasi oleh bakteri Salmonella typhi. 

Meskipun konteksnya berbeda, air versus makanan, kedua kasus tersebut sama-sama melibatkan kegagalan infrastruktur dasar (sanitasi dan tata kelola pangan) yang seharusnya dikelola oleh otoritas publik, yang mengakibatkan ribuan warga, termasuk anak-anak, jatuh sakit karena produk yang seharusnya menyehatkan malah menjadi sumber penyakit. 

Kesamaan ini menekankan bahwa pengawasan dan protokol keamanan adalah pertahanan pertama dan utama dari setiap program kesejahteraan publik berskala massal.

Mengingat kondisi keracunan yang terjadi hingga saat ini sudah memprihatinkan dan membahayakan keselamatan anak-anak, pemerintah harus segera mengambil beberapa jalan terbaik untuk mengatasi masalah ini secara permanen.

Pertama, pengetatan standar higienitas dan sertifikasi wajib. Pemerintah harus membekukan operasional semua SPPG yang belum mengantongi SLHS dan mewajibkan pelatihan keamanan pangan secara intensif bagi semua juru masak, pengemas, dan distributor. 

Sertifikasi harus menjadi prasyarat mutlak, bukan sekadar pelengkap.

Kedua, perubahan model distribusi dan kontrol suhu. Dapur MBG harus diwajibkan untuk memasak makanan hanya dalam beberapa jam sebelum waktu konsumsi. 

Jika itu tidak memungkinkan karena keterbatasan logistik, sistem harus diubah menjadi distribusi bahan makanan mentah yang diolah di tingkat sekolah/lokal dengan pengawasan langsung, atau investasi pada teknologi pendinginan dan pemanasan yang canggih untuk mempertahankan suhu aman.

Ketiga, penguatan pengawasan berlapis dan sanksi tegas. Badan Gizi Nasional perlu berkolaborasi erat dengan Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) dan Dinas Kesehatan Daerah untuk melakukan inspeksi mendadak dan berkala. 

Setiap kasus keracunan harus diselidiki secara transparan, dan SPPG atau pemasok yang terbukti lalai wajib dikenakan sanksi berat, termasuk pencabutan kontrak dan tuntutan hukum.

Keempat, membangun sistem umpan balik real-time. Menerapkan mekanisme pelaporan cepat dari sekolah atau orang tua yang menemukan makanan basi, berbau, atau tidak layak, sehingga otoritas dapat bertindak segera untuk menghentikan distribusi.

MBG adalah program dengan visi besar yang seharusnya menjadi kebanggaan nasional, namun implementasi yang ceroboh telah mengubahnya menjadi ancaman kesehatan. 

Dengan mengambil langkah-langkah kebijakan yang berani dan berfokus pada kualitas serta keamanan, bukan hanya kuantitas, pemerintah masih memiliki kesempatan untuk menyelamatkan program ini dari kegagalan total, mengembalikan kepercayaan publik, dan akhirnya, mewujudkan tujuan mulia menciptakan generasi penerus yang sehat dan cerdas. Semoga! 
 
Simak terus berita POS-KUPANG.COM di Google News 

 

Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved