Opini

Opini: Dilema MBG dan Kasus Keracunan

Epidemik ini terjadi karena kegagalan sistem sanitasi pada pasokan air publik yang terkontaminasi oleh bakteri Salmonella typhi. 

Editor: Dion DB Putra
POS-KUPANG.COM/HO-DOK PRIBADI
Inosensius Enryco Mokos 

Faktor ini diperburuk oleh kontaminasi silang, sanitasi alat dapur yang buruk, dan kurangnya pelatihan bagi juru masak dan pengemas, yang sering kali merupakan mitra baru tanpa pengalaman memproduksi makanan dalam skala besar. 

Ketidakmampuan SPPG mengelola logistik dari proses memasak ke konsumsi dalam batas waktu aman ( idealnya kurang dari dua jam) adalah penyebab utama insiden yang berulang ini.

Terlepas dari krisis keracunan, program MBG memiliki keunggulan sosial ekonomi yang signifikan dan berdampak positif, baik secara nasional maupun lokal di setiap daerah. 

Secara nasional, program ini berfungsi sebagai jangkar pasar bagi petani dan peternak lokal, meningkatkan permintaan bahan pangan segar seperti beras, telur, sayuran, dan daging, yang pada gilirannya menstabilkan harga komoditas dan memicu pertumbuhan ekonomi daerah. 

Secara lokal, program ini telah membuka lapangan pekerjaan baru dalam rantai suplai makanan. 

Mulai dari pedagang pasar yang menjadi pemasok bahan baku, ibu-ibu rumah tangga yang dipekerjakan sebagai juru masak dan pengemas di SPPG, hingga tenaga kerja pendukung seperti pencuci piring dan petugas distribusi. 

Dengan demikian, MBG tidak hanya sekadar program gizi, tetapi juga instrumen pembangunan ekonomi inklusif.

Quo Vadis MBG?

Kasus keracunan massal MBG ini, meskipun modern, memiliki kemiripan tragis dengan peristiwa keracunan makanan besar di masa lampau, yang menunjukkan bahwa kegagalan higienitas dalam penyediaan makanan skala besar adalah isu abadi. 

Salah satu contoh peristiwa sejarah yang sebanding adalah Epidemi Tipus di Croydon, Inggris, pada tahun 1937. 

Epidemik ini terjadi karena kegagalan sistem sanitasi pada pasokan air publik yang terkontaminasi oleh bakteri Salmonella typhi. 

Meskipun konteksnya berbeda, air versus makanan, kedua kasus tersebut sama-sama melibatkan kegagalan infrastruktur dasar (sanitasi dan tata kelola pangan) yang seharusnya dikelola oleh otoritas publik, yang mengakibatkan ribuan warga, termasuk anak-anak, jatuh sakit karena produk yang seharusnya menyehatkan malah menjadi sumber penyakit. 

Kesamaan ini menekankan bahwa pengawasan dan protokol keamanan adalah pertahanan pertama dan utama dari setiap program kesejahteraan publik berskala massal.

Mengingat kondisi keracunan yang terjadi hingga saat ini sudah memprihatinkan dan membahayakan keselamatan anak-anak, pemerintah harus segera mengambil beberapa jalan terbaik untuk mengatasi masalah ini secara permanen.

Pertama, pengetatan standar higienitas dan sertifikasi wajib. Pemerintah harus membekukan operasional semua SPPG yang belum mengantongi SLHS dan mewajibkan pelatihan keamanan pangan secara intensif bagi semua juru masak, pengemas, dan distributor. 

Halaman 2 dari 3
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved