Opini
Opini: Suara dari Ina Kasih, Kupang Melawan Kemiskinan Menstruasi
Program Ina Kasih lahir dari komitmen kuat Pemerintah Kota Kupang menghadirkan kebijakan yang menyentuh kebutuhan riil warganya.
Praktik darurat ini bukan sekadar tidak higienis, tetapi menempatkan kesehatan reproduksi mereka dalam risiko serius, sekaligus memperlihatkan bagaimana kemiskinan menstruasi adalah bentuk ketidakadilan gender yang paling sunyi, namun paling mendalam.
Di Nusa Tenggara Timur, persoalan ini semakin kompleks karena diperparah oleh krisis air bersih. Di banyak desa, baik di daratan Timor maupun di Sumba, akses terhadap air masih menjadi pergulatan sehari-hari.
Dalam situasi ini, perempuan yang sedang menstruasi menanggung beban berlapis: tidak hanya kesulitan memperoleh pembalut yang layak, tetapi juga tidak dapat merawat organ reproduksi secara higienis akibat keterbatasan air.
Kisah nyata menggambarkan situasi tersebut seorang perempuan di pedalaman Timor Tengah Selatan (TTS) hanya bisa membasuh diri sekali sehari karena air harus dijatah untuk seluruh kebutuhan rumah tangga, sementara remaja perempuan di Sumba memilih absen dari sekolah saat haid karena fasilitas air dan sanitasi di sekolah mereka tidak memadai.
Kondisi ini menjerat perempuan dalam lingkaran kerentanan: kesehatan reproduksi terancam, akses pendidikan terhambat, dan martabat sebagai perempuan semakin terpinggirkan.
Kupang Mengambil Langkah Berani
Di tengah keterbatasan fiskal daerah, Pemkot Kupang berani menempatkan isu menstruasi sebagai prioritas kebijakan publik. Ini bukan hanya langkah progresif, tetapi juga simbol keberpihakan yang nyata.
Tidak banyak daerah di Indonesia yang secara terbuka mengakui menstruasi adalah bagian dari persoalan kesejahteraan masyarakat.
Keputusan ini menjadi terobosan penting, terutama jika kita melihat realitas NTT yang masih dibayangi krisis air bersih dan keterbatasan akses sanitasi.
Artinya, kebijakan pembalut gratis ini tidak hadir dalam ruang hampa, melainkan menjawab problem struktural yang selama ini membungkam suara perempuan.
Komitmen Pemkot Kupang terlihat jelas melalui upaya memastikan program Ina Kasih tidak berhenti pada seremoni, melainkan dirancang dengan mekanisme distribusi yang terukur, transparan, dan melibatkan berbagai pemangku kepentingan mulai dari sekolah, fasilitas kesehatan, hingga komunitas basis.
Dengan demikian, akses pembalut gratis bukan sekadar simbol, tetapi menjangkau perempuan yang paling membutuhkan.
Kupang kini berdiri sejajar dengan sejumlah negara yang lebih dahulu mengakui menstruasi sebagai isu publik, seperti Skotlandia yang menggratiskan produk menstruasi bagi seluruh warganya.
Namun konteks Kupang justru menghadirkan makna yang lebih mendalam: langkah ini ditempuh bukan dalam kondisi berlimpah sumber daya, melainkan dalam keterbatasan anggaran.
Hal ini menegaskan bahwa keberanian politik dan perspektif gender jauh lebih menentukan daripada sekadar besarnya dana.
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.