Opini

Opini: Menakar Proyek Geotermal Dari Aspek Keadilan Sosial dan Ekologis

Editor: Dion DB Putra
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Joni K. Tiran, SH

Lalu muncul pertanyaan berikutnya, apa yang harus dilakukan oleh pemerintah sebagai pihak yang berwenang menerbitkan izin pelaksanaan proyek tersebut? 

Secara hukum, seharusnyalah pemerintah membatalkan atau minimal menunda pelaksanaan proyek tersebut sampai dengan adanya pelaksanaan FPIC yang baik dan benar. 

Sebagaimana kita ketahui bahwa Indonesia sebagai anggota Perserikatan Bangsa-Bangsa tentunya harus  mematuhi United Nation Declaration on the Rights of Indigenous of Peoples (UNDRIP), yang telah disahkan oleh Majelis Umum PBB pada tahun 2007.

Deklarasi ini menetapkan hak-hak kolektif dan individu masyarakat adat di seluruh dunia dan menjadi standar untuk menjamin kelangsungan hidup, martabat dan kesejahteraan mereka. 

Mengabaikan FPIC sama artinya dengan mereduksi kedaulatan masyarakat adat atas tanah dan identitas kultural mereka, sehingga proyek energi yang sejatinya untuk kepentingan publik justru berpotensi menjadi instrumen perampasan hak.

Bahwa selain daripada hal tersebut di atas, dalam ketentuan Pasal 42 ayat (1) dan ayat (3) Undang-Undang No. 21 Tahun 2014 Tentang Panas Bumi, telah mengatur secara jelas bahwa untuk soal tanah, pemegang izin proyek harus menyelesaikan terlebih dahulu dengan pemegang hak tanah, baik melalui jual beli, hibah ataupun bentuk ganti rugi yang layak dan dilakukan secara musyawarah dan mufakat, tanpa ada tekanan, paksaan  maupun intimidasi  dari siapapun. 

Artinya, hukum nasional sudah menyediakan kerangka normatif yang tegas. 

Namun, dalam praktiknya sering kali terjadi deviasi karena kuatnya kepentingan modal dan lemahnya komitmen pemerintah untuk menegakkan hukum.

Hal ini sangat penting, karena jika pemerintah tetap memaksakan dilanjutkannya proyek tersebut tanpa memperhatikan pelaksanaan FPIP yang baik dan benar, maka bukan hanya prinsip-prinsip dalam Deklarasi PBB tersebut saja yang dilanggar akan tetapi juga berpotensi melanggar ketentuan Pasal 18 B ayat (2) yang mengatur tentang hak-hak masyarakat adat dan juga tentu saja pelanggaran terhadap Undang-Undang tentang Panas Bumi. 

Dengan demikian, proyek geotermal Flores dapat menjadi preseden buruk yang memperlihatkan inkonsistensi negara antara komitmen konstitusional, instrument hukum nasional, dan standar internasional yang telah diratifikasi.

Akhirnya, kita semua tentu berharap agar pemerintah dalam hal ini Gubernur NTT dapat bersikap adil dan bijaksana menyikapi hal tersebut, demi bukan hanya terciptanya keadilan sosial bagi masyarakat, tetapi juga demi keadilan ekologis dan lingkungan yang wajib kita wariskan kepada generasi mendatang. 

Keadilan sosial tanpa keadilan ekologis hanya akan melahirkan pembangunan semu, sedangkan keadilan ekologis tanpa keadilan sosial berisiko mengorbankan manusia atas nama alam.

Yang dibutuhkan adalah keseimbangan keduanya melalui tata kelola energi yang transparan, partisipatif, dan berkeadilan. Semoga! (*)

Simak terus berita POS-KUPANG.COM di Google News 

 

Berita Terkini