“There is nothing outside the text” tulis Jacques Derrida dalam “Of Grammatology”. Tokoh utama filsafat dekonstruksi ini menegaskan kita tak bisa memahami atau mengakses dunia tanpa melalui bahasa, simbol atau sistem representatif lainnya.
Segel adalah narasi simbolik yang menolak dibaca secara administratif. Memakai kata-kata Sutardji, segel ibarat “cuka dalam nadi, luka dalam diri” kekuasaan.
Penyakit kekuasaan adalah lupa. Karena itu siapa yang berkuasa dia harus selalu waspada, jangan sampai lupa bahwa kekuasaan itu ada batas dan waktunya.
Segel menjadi teks sosial yang menjeritkan harapan, menegur dan mengingatkan kekuasaan dari kecenderungan lupa diri.
Dengan perkataan yang lebih alegoris, sebagai teks sosial, segel adalah sebuah pesan ekskhatologis sekaligus apokaliptis. Dengan menyegel gedung rektor sebagai simbol kekuasaan tertinggi di kampus, para mahasiswa mengingatkan bahwa musuh dari kekuasaan adalah kekuasaan itu sendiri.
Bukan yang lain-lain. Segel melindungi agar kekuasaan tidak membusukkan dan menghancurkan dirinya sendiri.
Selempang Kekuasaan Intelektual
Guru besar dalam tradisi akademiki adalah puncak pencapaian intelektual. Ia mengenakan toga, menyampaikan pidato ilmiah dan menerima selempang sebagai tanda otoritas.
Dengan demikian Selempang Guru Besar adalah bentuk kekuasaan yang lebih halus, ia tidak memerintah tapi memengaruhi. Ia tidak membuat kebijakan, tapi membentuk cara berpikir meski terkadang “Senyap dalam sungai, tenggelam dalam mimpi.”
Dalam pidato pengukuhan, seorang guru besar menyampaikan dan mempertanggungjawabkan pemikiran yang telah dirumuskannya secara bertahun-tahun. Ini bukan sekadar seremoni, tetapi kesaksian bahwa ilmu yang ia miliki telah siap menjadi bagian dari sejarah keilmuan.
Pengukuhan guru besar bukanlah akhir, melainkan awal dari tanggungjawab yang lebih besar dari kekuasaan yang lebih halus. “Power corresponds to the human ability not just to act but to act in concert” tulis Hannah Arendt, dalam On Violence.
Guru besar adalah gabungan unik antara pengakuan akademik, harga diri dan sensasi kekuasaan. Pengalungan selendang memberinya tanggungjawab atas nama jabatan, untuk menjaga agar komunitas akademik tidak lupa diri, tetap hidup dalam semangat kolektif, di mana kehidupan tumbuh melalui dialog, bukan monolog, melalui kolaborasi, bukan komando.
Dalam semangat Hanna Arendt, selempang adalah simbol komitmen untuk menjadi penjaga ruang publik akademik yang bebas, terbuka dan beradab.
Mendengar dan Berubah
Kekuasaan memang memberikan kesempatan luas untuk bermakna bagi orang lain. Namun kekuasaan harus dibatasi, supaya yang berkuasa tahu diri, tanpa pamrih, sehingga sungguh-sungguh bermanfaat. Jika tidak siapa yang diselempangkan kekuasaan, bahkan rakyat jelata, seperti Petruk dalam lakon perwayangan, ia bisa lupa diri.