Opini

Opini: Urgensi Pembangunan Pariwisata Inklusif dan Berkelanjutan di Pulau Padar

Editor: Dion DB Putra
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Jermin Yohanis Tiran

Oleh : Jermin Yohanis Tiran
Principal Strategyst Nusa Strategika

POS-KUPANG.COM - Perdebatan mengenai pengembangan Pulau Padar selama ini kerap terjebak pada dikotomi sempit antara konservasi dan pembangunan. 

Padahal, isu utama seharusnya diarahkan pada bagaimana merancang model pembangunan pariwisata yang mampu menggerakkan ekonomi lokal sekaligus memperkuat upaya konservasi. 

Masalahnya adalah model pembangunan pariwsiata yang dipilih, bukan pada boleh atau tidak boleh.

Tantangannya bukan sekadar menolak atau menerima pembangunan, melainkan memastikan bahwa setiap inisiatif pembangunan pariwisata yang diambil harus benar-benar bisa menghadirkan manfaat ekonomi nyata bagi masyarakat lokal melalui skema pembangunan pariwisata di mana kemanfaatannya harus inklusif di satu sisi dan tetap berkelanjutan di sisi lain.

Pulau Padar memiliki potensi luar biasa sebagai destinasi wisata premium yang dapat mengangkat taraf hidup masyarakat sekitar. 

Baca juga: Pelaku Pariwisata Tolak Rencana Pembangunan Vila di Pulau Padar Labuan Bajo

Keunikan ekosistem Komodo dan lanskap alam yang spektakuler bukan hanya aset konservasi, melainkan juga sumber daya ekonomi bernilai tinggi.

Sayangnya, potensi ini belum sepenuhnya dikelola untuk kepentingan komunitas lokal. 

Selama ini, keuntungan pariwisata lebih banyak dinikmati oleh operator besar dari luar daerah, sementara warga sekitar hanya memperoleh bagian yang sangat kecil.

Model kebijakan dan konsep pembangunan pariwisata di Pulau Padar harus dua arah, yakni berbasiskan pada asas “sharing economy” di satu sisi dan mengutamakan perbaikan kualitas lingkungan serta budaya di sisi lain. 

Investor yang datang dan telah diberi konsesi harus memenuhi syarat-syarat ketat, bukan saja syarat-syarat untuk mengurangi dampak lingkungan, tapi juga syarat sosial ekonomi.

Caranya adalah  ikut terlibat secara aktif di dalam pengembangan pariwisata berbasis komunitas untuk masyarakat sekitar kawasan bersama dengan pemerintah, baik pusat maupun daerah.
 
Penelitian menunjukkan bahwa pariwisata berbasis komunitas mampu meningkatkan pendapatan rumah tangga lokal hingga 300–500 persen dibandingkan sumber penghasilan tradisional. 

Jika dilihat secara faktual, masyarakat Pulau Padar sebenarnya memiliki modal sosial berupa kebijaksanaan lokal (local wisdom) yang terkait dengan pengetahuan ekosistem, pengetahuan dan kemampuan navigasi laut, serta kearifan tradisional lainya yang dapat dikemas menjadi produk wisata autentik dengan nilai jual tinggi.

Artinya, jika dikembangkan secara tepat, dengan dukungan serius dari investor sebagai pendatang dan pemerintah daerah, rantai nilai ekonomi pariwisata dapat menjadi sumber kesejahteraan bagi masyarakat local.

Misalnya dengan melibatkan masyarakat sekitar sebagai pemandu, pengelola transportasi, pengrajin, penyedia homestay, hingga pelaku usaha kuliner berbasis tradisi.

Community-Based Tourism (CBT) menawarkan pendekatan yang lebih adil karena menempatkan masyarakat bukan hanya sebagai penerima dampak, melainkan aktor utama dalam mengelola aktivitas wisata. 

Berbagai praktik internasional menunjukkan, CBT tidak hanya membagi keuntungan secara merata, tetapi juga memperkuat kesadaran komunitas untuk menjaga lingkungan, karena keberlanjutan destinasi sangat berkaitan dengan kesejahteraan masyarakat lokal.

Implementasi CBT di Pulau Padar bisa dimulai dari pembentukan koperasi Merah Putih yang bergerak di dalam pariwisata. 

Koperasinya ini akan mengatur seluruh aktivitas kepariwisataan berbasis komunitas, mulai dari akomodasi hingga paket tur konservasi. 

Homestay dapat dikembangkan sesuai standar internasional tanpa meninggalkan ciri arsitektural dan nilai lokal.

Untuk itu, Kementerian Pariwisata, pemerintah daerah, bersama dengan Perusahaan perlu menginisiasi program seperti pelatihan bahasa, manajemen usaha, dan keterampilan konservasi, agar masyarakat mampu menghadirkan layanan wisata berkualitas sesuai dengan konsep “special
interest tourism” yang melekat pada kawasan Pulau Padar.

Keunggulan pendekatan berbasis komunitas ini terletak pada sinerginya. Ketika masyarakat memperoleh manfaat ekonomi, insentif untuk melestarikan lingkungan semakin kuat. 

Hal tersebut telah terbukti di berbagai destinasi ekowisata di berbagai belahan dunia, di mana komunitas lokal menjadi garda depan perlindungan ekosistem. 

Dalam konteks Pulau Padar, masyarakat lokal bahkan bisa dilatih sebagai “ranger” komunitas. 

Tugasnya selain menjaga habitat Komodo dan Pulau Padar sebagai special interest tourism, juga memberi edukasi konservasi kepada wisatawan.

Secara teknis, program ini dapat diintegrasikan dengan skema Payment for Ecosystem Services, di mana masyarakat memperoleh kompensasi atas jasa konservasi. 

Skema teknis ini akan menjadi insentif tersendiri bagi masyarakat lokal untuk semakin berkomitmen melestarikan lingkungan di kawasan. 

Teknologi modern seperti drone monitoring, aplikasi wildlife tracking, dan sistem informasi geografis bisa dimanfaatkan untuk memperkuat efektivitas konservasi sekaligus membuka lapangan kerja bagi generasi muda.

Dalam hemat saya, jika Perusahaan dan pemerintah menerapkan pendekatan CBT pada masyarakat lokal di Pulau Padar, pulau ini akan berpeluang menjadi destinasi wisata edukasi kelas dunia ke depannya. 

Konsep seperti Komodo Conservation Experience, Traditional Fishing with Local Fishermen, hingga Sustainable Island Living dapat menjadi daya tarik unggulan yang  ditawarkan kepada wisatawan premium yang bersedia membayar lebih untuk pengalaman autentik.

Selain itu, mendorong kolaborasi komunitas dengan universitas juga memungkinkan masyarakat dilibatkan sebagai peneliti komunitas dalam program citizen science, misalnya, mulai dari monitoring ekosistem hingga restorasi habitat. 

Model ini juga, selain berpotensi memberi pemasukan berkelanjutan untuk masyarakat lokal, juga sekaligus memperbaiki serta memperkuat kapasitas riset dan kesadaran global akan pentingnya konservasi.

Setali tiga uang dengan itu, pembangunan infrastruktur pariwisata di Pulau Padar juga harus mengikuti prinsip ramah lingkungan. Energi terbarukan seperti panel surya atau turbin angin dapat digunakan sebagai sumber energi. 

Sistem pengelolaan limbah dan water recycling juga tak kalah penting agar ekosistem laut Pulau Padar tetap terlindungi. 

Sementara itu, infrastruktur digital seperti wifi dan cashless payment dipastikan akan meningkatkan layanan di kawasan, memperluas skala pemasaran sampai ke tingkat global, sekaligus mempermudah monitoring berbagai dampak aktifitas pariwisata.

Namun, keberhasilan model ini membutuhkan dukungan pembiayaan inovatif dan kemitraan strategis. 

Pemerintah bisa menyediakan initial funding melalui program pemberdayaan masyarakat, sedangkan sektor swasta dapat berkontribusi melalui CSR atau impact investment.

Universitas dan lembaga penelitian dapat memperkuat aspek akademik, sementara kolaborasi dengan NGO internasional membuka akses pada pendanaan maupun bantuan teknis. 

Hal yang terpenting, skema revenue sharing harus adil, dengan porsi terbesar dialokasikan bagi komunitas lokal sebagai pemilik sumber daya.

Dalam kerangka ini, Social License to Operate (SLO) lebih mudah diperoleh karena legitimasi sosial terbentuk secara alami di mana masyarakat memperoleh manfaat langsung dan ikut mengendalikan arah pembangunan kepariwisataan di daerahnya. 

Lalu transparansi dan keterlibatan langsung dalam pengambilan keputusan akan menumbuhkan kepercayaan.

Sementara itu, hal sebaliknya akan terjadi. Jika dominasi pihak luar atau investor berlangsung sedari semula, tanpa memikirkan kepentingan masyarakat sekitar, maka resistensi sosial sebagaimana yang terjadi belakangan tak terelakan.

Singkatnya di sini saya ingin mengatakan bahwa masyarakat Pulau Padar tidak harus memilih antara konservasi atau pembangunan ekonomi. Dengan desain yang tepat, keduanya dapat bersanding secara harmonis melalui pendekatan dual track. 

Di satu sisi, pengembangan pariwisata berbasiskan komersial oleh investor harus benar-benar dikawal agar tetap memenuhi syarat-syarat ketat yang berlaku untuk destinasi wisata khusus. 

Di sisi lain, pemerintah dan Perusahaan harus pula melakukan pembangunan ekonomi pariwisata berbasis komunitas yang inklusif dan berkelanjutan untuk masyarakat setempat.

Kunci keberhasilan di Pulau Padar terletak pada tiga hal. Pertama, political will dari pemerintah, mulai dari pusat sampai ke daerah, untuk mendukung pengembangan wisata dual track seperti dijelaskan di atas. 

Kedua, dukungan serius sekaligus konsistensi serta komitmen pihak swasta pada skema pengembangan kawasan yang berkeadilan. 

Ketiga, kesediaan masyarakat untuk mengembangkan kapasitas kepariwisataan berbasiskan konservasi, baik secara personal maupun institusional, agar semakin siap dalam menghadapi dinamika industri pariwisata modern saat ini. Semoga. (*)

Simak terus berita POS-KUPANG.COM di Google News 

 

Berita Terkini