Opini

Opini: Guru, Tanda Jasa dan Pembangun Insan Cendekia

Editor: Dion DB Putra
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Albertus Muda

Oleh: Albertus Muda
Guru ASN pada SMAS Keberbakatan Olahraga San Bernardino Lewoleba, Lembata - Nusa Tenggara Timur

POS-KUPANG.COM - Sepenggal syair dalam lagu berjudul ‘Pusara Tak Bernama’ yang dikondangkan Group Band Black Sweet berbunyi demikian, “engkau tak dikenang namamu di lembaran bunga bangsa, engkau dilupakan jasamu di lembaran sejarah.” 

Syair lagu ini mengingatkan kita semua akan nasib para pahlawan yang berani mati di medan juang demi membela NKRI.

Patut diakui bahwa tak semua pahlawan dikenang dan tercatat namanya dalam lembaran sejarah perjuangan bangsa. 

Padahal mereka berani mati dan rela berkorban jiwa-raga agar Indonesia yang terjajah menjadi bangsa yang merdeka. 

Kerelaan berkorban menjadikan mereka patut dikenang sebagai pahlawan meski mereka tak menuntut untuk dikenang bahkan dianugerahi pahlawan.

Baca juga: Opini: Semangat Kemerdekaan Sebagai Spirit Utama di Tengah Cibiran Guru Beban Negara

Para pahlawan adalah bunga bangsa yang mati di taman bakti. Kehidupan mereka laksana bunga bogenvil yang dibonsai. 

Dalam wadah yang pengap dan terbatas, mereka tetap hidup bahkan berbuah bernas. 

Dalam kepengapan, penindasan dan kebengisan penjajah, semangat kepahlawanan mereka terus membara dan menyulut perjuangan, spirit perjuangan mereka tak pernah padam.

Mereka pantas dijuluki pelita bangsa. Pelita yang bernyala menyimbolkan terang yang menghalau kegelapan, memberi energi yang menghidupkan. 

Semboyan mati satu tumbuh seribu, habis gelap terbitlah terang menjadi spirit perjuangan mereka. 

Kematian mereka laksana pelita dalam ruang gelap penderitaan yang memancarkan terang yang membebaskan dan memerdekakan.

Dalam konteks pendidikan, kita tentu mengenang para pahlawan nasional yang berjasa di bidang pendidikan. 

Tokoh yang sangat akrab dan dikenal luas oleh masyarakat yang tidak hanya di kalangan guru dan peserta didik tetapi juga dikenang oleh seluruh masyarakat Indonesia yakni Ki Hajar Dewantara. 

Ia adalah Bapak Pendidikan Nasional yang dikenal dengan tiga semboyan pendidikannya yang terus menginspirasi pendidikan Indonesia hingga saat ini.

Pertama, ing ngarso sung tulada mengandung makna guru berada pada garda terdepan berperan sebagai penunjuk jalan. 

Memberi terang bagi kegelapan berpikir anak didik. Guru kencing berdiri, murid kencing berlari. 

Kedua, ing madya mangun karsa mengandung arti guru berada dan hadir di tengah-tengah anak didik untuk mengayomi, menjadi panutan, digugu, ditiru dan diteladani. 

Ketiga, tut wuri handayani yang berarti guru hadir memberi peneguhan dan kekuatan dari belakang sebagai penyemangat.

Selain ketiga semboyan Ki Hajar Dewantara di atas, Pratiwi Ika Narastiwi dalam buku ‘Guru yang Berkarakter Kuat’ (2012) karya Hawari Aka, menganalogikan guru sebagai air, udara, api dan tanah. Sebagai air, guru mesti tetap memberi kesejukan dan kesegaran. 

Demikian juga sebagai udara, guru mesti tetap memberi kelegaan dan napas kehidupan. Napas kehidupan dalam artian memberi spirit, roh, semangat bagi anak didik. 

Sebagai api, guru mesti tetap memberi kehangatan serta menerangi budi dan hati.

Selain itu, sebagai tanah, guru menjadi tempat berpijak yang kokoh bagi anak didik untuk mengembangkan kreativitas bahkan berinovasi. 

Dengan demikian, dibutuhkan sosok penyejuk yang memberikan kesegaran dan kehangatan, cahaya yang terang serta tempat pijak dan ruang bagi anak didik untuk berkembang menjemput setiap impian yang beragam. 

Jika semua itu dialami anak didik, maka kepahlawanan seorang guru sebagai pengajar dan pendidik telah termanifestasi dan teraplikasi.

Mengenang Jasa Guru

Dalam Himne Guru, guru lazim disebut pahlawan tanpa tanda jasa. Menurut Mintara A. Sufiyanta (2011), ada tiga penghargaan mulia yang dihaturkan kepada para guru dan pendidik.

Pertama, nama selalu hidup di dalam sanubari. Kedua, bakti-perjuangan diukir di dalam hati.

Ketiga, terima kasih ditatah pada prasasti jiwa para anak didik. Pertanyaannya, masih perlukah tanda-tanda jasa lahiriah bagi para guru dan pendidik?

Sebagai penghargaan, semestinya para guru pantas menerima berbagai tanda jasa. 

Namun kita percaya, tanpa tanda jasa lahiriah, para guru akan tetap gigih berjuang dan setia mengabdikan diri bagi kebahagiaan anak didik di masa depan. 

Sebab menjadi guru dan pendidik bukan sekadar profesi melainkan panggilan hidup.

Setiap guru telah memberi persembahan hidup yang sangat mulia dan harum mewangi di hadapan Tuhan yakni setia menemani anak didik menapaki jalan hidup mereka masing-masing.

Tanpa tanda jasa lahiriah bukan berarti tidak ada sama sekali jasa yang dibuat oleh para guru dan pendidik. Ada begitu banyak jasa yang diberikan oleh guru.

Tanda jasa lahiriah tentunya tidak cukup untuk melukiskan seluruh perjuangan dan dedikasi seorang guru. 

Sebab, tanda jasa lahiriah yang paling sejati yang membuktikan kesetiaan dan perjuangan seorang guru adalah pribadi anak didik. 

Jumlah dan kualitas anak didik yang pernah ditemani perjalanan hidup dan belajarnya merupakan jumlah dan kualitas tanda jasa sejati seorang guru.

Para guru adalah orang-orang terpanggil karena memiliki keberanian untuk berkorban.

Namun demikian, mereka dipanggil bukan pertama-tama untuk sukses melainkan untuk setia dalam mengabdikan diri bagi setiap anak didik yang dititipkan orang tua kepadanya di sekolah.

Anak didik merupakan benih istmewa yang siap dirawat dan sipeliharanya sepanjang pengabdiannya di lembaga pendidikan formal.

Saat ini banyak remaja, orang muda yang pernah dididik dan didampingi guru telah menjadi orang-orang hebat di bidangnya masing-masing, baik berkarya di dalam negeri bahkan di luar negeri. 

Anak-anak didik terbang bagai rajawali dengan sayap-sayap yang kokoh, meraih cita-cita hidupnya. 

Semua keberhasilan yang telah diraih tentu sangat dipengaruhi oleh komitmen dan dedikasi perjuangan para guru.

Pahlawan Insan Cendekia

Seiring perkembangan zaman dan berjalannya waktu, guru bukan lagi pahlawan tanpa tanda jasa, melainkan pahlawan pembangun insan cendekia. 

Berkembang mekarnya para insan muda yang cendekia merupakan bukti tanda jasa sejati seorang guru. 

Terima kasih pantas disampaikan kepada para guru karena telah bersama anak didik menyusun bata peradaban dan menenun ilmu pengetahuan di dalam diri anak didik. 

Guru merupakan sosok yang memiliki dedikasi dan loyalitas yang tinggi bagi negara.

Maka, mengatakan guru sebagai beban negara selain dosen adalah sebuah pernyataan yang tidak elok bahkan pengkhianatan terhadap jati diri guru yang dari dirinya sendiri adalah cahaya yang memberi terang bagi kegelapan akal budi anak didik. 

Guru adalah mercusuar tangguh yang memberi sinyal dan tanda di tengah samudra pengetahuan yang luas agar anak tidak tersesat atau kehilangan jati dirinya.

Sepantasnya guru dihargai oleh negara karena sumber daya dan peradaban bangsa dapat dicapai melalui dedikasi seorang guru dalam dan melalui dunia pendidikan. 

Menjaga marwah para guru adalah bentuk penghormatan kepada guru yang telah berjasa membangun bangsa.

Tanpa guru bangsa ini masih rendah berperadabannya. Tanpa guru sumber daya manusia bangsa ini akan sulit menyamai level bangsa lain.

Oleh karena itu, kita pantas belajar dari Kaisar Jepang, Hirohito yang sangat menggantungkan harapan kemajuan bangsanya di tangan para guru meski berada di tengah kehancuran bangsanya karena perang dunia. 

Ia bukan menanyakan berapa jumlah tentara yang masih hidup, melainkan masih berapa orang guru yang tersisa. 

Ia menyadari bahwa untuk memulihkan Jepang dari keterpurukan dibutuhkan sentuhan batin dan dedikasi seorang guru.

Kisah di atas menjadi simbol betapa pentingnya peran guru bagi suatu bangsa. 

Kaisar Hirohito menyadari bahwa Jepang tidak akan bangkit kembali menjadi bangsa yang maju dan bersumber daya unggul saat ini tanpa ada pendidikan dan guru yang berkualitas. 

Ia bahkan menginstruksikan para jenderal mengumpulkan semua guru yang masih hidup untuk membangun kembali negara yang telah hancur berantakkan. (*)

Simak terus berita POS-KUPANG.COM di Google News 

 

Berita Terkini