Opini

Opini: Wajah Kemanusian yang Terabaikan

Editor: Dion DB Putra
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Inosensius Enryco Mokos

Oleh: Inosensius Enryco Mokos
Dosen Ilmu Komunikasi dan Filsafat ISBI Bandung, Jawa Barat

POS-KUPANG.COM -  Sebuah peristiwa tragis kembali mengguncang rasa kemanusiaan kita, ketika seorang prajurit muda, Prada Lucky Chepril Saputra Namo, harus meregang nyawa di tangan seniornya saat bertugas di Kabupaten Nagekeo. 

Kasus yang diduga sebagai penganiayaan ini lebih dari sekadar insiden kekerasan, melainkan sebuah manifestasi dari kecenderungan purba manusia untuk mendominasi dan mengabaikan kebebasan orang lain.

Kematian Prada Lucky menjadi sebuah cermin yang memantulkan bayangan kegelapan ketiadaan empati yang melanda masyarakat kita, dari hierarki kekuasaan dalam institusi militer hingga berbagai masalah sosial yang terjadi di Nusa Tenggara Timur.

Baca juga: LPSK Temui Dua Saksi Kasus Kematian Prada Lucky Namo di Nagekeo

Peristiwa ini memaksa kita untuk merenungkan kembali pondasi moral dan etika dalam relasi antar-manusia, menyoroti bagaimana kegagalan untuk melihat dan menghargai orang lain sebagai subjek yang memiliki martabat, dapat berujung pada tragedi yang memilukan. 

Esai ini akan menganalisis kasus tersebut dari perspektif filsafat Emmanuel Levinas dan mengaitkannya dengan masalah kekerasan sosial yang lebih luas, untuk pada akhirnya menawarkan jalan keluar menuju masyarakat yang lebih berempati dan saling menghormati.

Wajah sebagai Panggilan Etis dan Erosi Kemanusiaan

Dalam filsafat Emmanuel Levinas, yang lahir dari perenungan mendalam pasca-Holocaust, "wajah" (le visage) bukanlah sekadar fitur fisik atau representasi psikologis.

Sebaliknya, wajah adalah sebuah manifestasi ontologis dari Yang Lain (Autre) yang tak bisa dikuasai atau direduksi menjadi objek. 

Levinas berpendapat bahwa wajah adalah "panggilan etis"  pertama dan paling fundamental yang menghadapkan kita pada tanggung jawab tak terbatas. 

Wajah Yang Lain muncul dalam ketelanjangannya, dalam kerapuhannya, dan dalam posisi tak berdayanya, dan di situlah ia mengeluarkan sebuah perintah moral: "jangan bunuh aku". 

Perintah ini mendahului segala bentuk hukum, kontrak sosial, atau logika kekuasaan. 

Tragedi kematian Prada Lucky secara fundamental adalah sebuah pelanggaran etika wajah ini. 

Para senior yang diduga melakukan penganiayaan gagal melihat Prada Lucky sebagai "wajah" yang memancarkan perintah moral. 

Mereka mereduksinya menjadi sebuah objek dari hierarki dan kekuasaan, sebuah posisi yang harus tunduk, yang dapat diperintah, dan yang dapat dilampiaskan amarah. 

Sifat dasar manusia untuk menguasai dan menundukkan, yang diperparah oleh sistem militer yang kaku, menjadi kekuatan pendorong di balik tindakan tersebut. 

Ketika Prada Lucky dikuasai, digertak, atau dipukuli, kemanusiaannya telah dibatalkan. 

Ia tidak lagi dianggap sebagai subjek dengan kehendak bebas, tetapi sebagai instrumen untuk menegaskan superioritas dan dominasi. 

Seperti yang diungkapkan Levinas, "Etika bukanlah sebuah pilihan melainkan fondasi dari apa yang membuat manusia menjadi manusia." 

Ketiadaan etika inilah yang membuat kekerasan menjadi mungkin. Ketiadaan etika ini tidak hanya terbatas pada kasus Prada Lucky. 

Ini adalah akar dari konflik dan perang yang terjadi di berbagai belahan dunia.  Kekerasan massal terjadi Ketika suatu pihak berhasil membatalkan wajah pihak lain, mengubah mereka menjadi "musuh, "teroris" atau "pihak yang berbeda." 

Dengan menafikan kemanusiaan mereka, kita merasa berhak untuk menguasai, menghancurkan, dan membunuh. 

Kekerasan menjadi sebuah konsekuensi logis dari kegagalan melihat wajah orang lain sebagai Yang Lain yang suci dan menuntut pertanggungjawaban. 

Ini adalah inti dari pemikiran Levinas: bahwa etika mendahului ontologi; tanggung jawab kita terhadap orang lain datang sebelum segala bentuk pemahaman tentang "ada" mereka.

Refleksi Sosial dan Jalan Menuju Empati

Kekerasan yang menimpa Prada Lucky adalah refleksi dari masalah sosial yang lebih besar, terutama yang terjadi di NTT, dimana kekerasan sering kali menjadi bagian dari kehidupan sehari-hari. 

Berbagai tindak kekerasan, baik yang dipicu oleh miras, kekerasan dalam rumah tangga (KDRT), maupun kekerasan seksual, memiliki satu benang merah yang sama: minimnya empati. 

Pelaku kekerasan tidak mampu melihat wajah korbannya sebagai manusia yang memiliki martabat, melainkan sebagai objek yang dapat dikuasai atau dilampiaskan.

Laporan tahunan Komnas Perempuan secara konsisten menunjukkan bahwa kekerasan terhadap perempuan, baik KDRT maupun kekerasan seksual, merupakan masalah serius di NTT. 

Misalnya, laporan dari Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (DP3A) NTT mencatat bahwa hingga Agustus 2024, terdapat 227 kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak. 

Angka ini diprediksi akan terus meningkat, mengingat total kasus pada tahun 2023 mencapai 323 kasus. 

Mirisnya, banyak dari kasus-kasus ini terjadi di dalam rumah tangga atau melibatkan kerabat korban, di mana pelaku memanfaatkan relasi kekuasaan berlapis. 

Fenomena ini, yang sering disebut sebagai "fenomena gunung es" menunjukkan bahwa angka yang dilaporkan hanyalah sebagian kecil dari kasus yang sebenarnya terjadi. 

Di balik setiap kasus tersebut, ada wajah-wajah yang terabaikan, suara-suara yang dibungkam, dan martabat yang diinjak-injak.

Belajar dari kasus tragis Prada Lucky, kita harus mengakui bahwa kekerasan tidak hanya merenggut nyawa, tetapi juga menggerus pondasi moral masyarakat. 

Untuk menumbuhkan kembali sikap empati dan saling menghormati, terutama terhadap mereka yang lemah dan tidak berdaya, kita perlu mengambil langkah-langkah konkret dan sistematis.

Pertama, pembentukan karakter dan etika sejak dini di tingkat keluarga, sekolah, dan komunitas. 

Kurikulum pendidikan harus menekankan pentingnya empati, resolusi konflik non-kekerasan, dan menghormati perbedaan. Ini adalah investasi jangka panjang untuk menciptakan generasi yang mampu melihat dan merespons wajah Yang Lain dengan penuh tanggung jawab.

Kedua, reformasi budaya di dalam institusi, termasuk militer dan kepolisian, untuk menghapus tradisi-tradisi yang melanggengkan kekerasan. Lingkungan kerja harus menjadi tempat yang aman dimana setiap individu dihargai, bukan diintimidasi. 

Pendidikan ulang bagi para pemimpin dan perwira, serta mekanisme pelaporan kekerasan yang aman dan rahasia, adalah langkah penting untuk memutus rantai kekerasan.

Ketiga, penguatan peran komunitas dan tokoh agama di NTT untuk secara aktif mengkampanyekan anti-kekerasan dan memberikan edukasi tentang hak-hak asasi manusia, terutama hak-hak perempuan. 

Program-program rehabilitasi bagi pelaku dan pendampingan psikologis serta hukum bagi korban juga sangat penting untuk memulihkan trauma dan mencegah kekerasan berulang.

Terakhir, tuntutan hukum yang tegas dan keras kepada para terduga pelaku yang terbukti melakukan kekerasan. Hukuman bukan hanya pemecatan secara dinas dan militer tetapi harus terbuka dan jujur sehingga bisa mengobati luka keluarga Prada Lucky yang sudah tersayat karena kisah pilu kepergian anak mereka.

Levinas mengingatkan kita bahwa "wajah adalah awal dari sebuah perintah.
 
Tragedi Prada Lucky adalah peringatan tragis bahwa ketika kita gagal melihat wajah sesama, kita gagal menjadi manusia. 

Tugas kita, sebagai individu dan masyarakat, adalah untuk terus-menerus mendengarkan panggilan wajah tersebut, menjadikannya landasan bagi setiap interaksi kita, dan berani melawan segala bentuk kekerasan dan dominasi yang mencoba mengabaikannya. Semoga! (*)

Simak terus berita POS-KUPANG.COM di Google News 

 

Berita Terkini