Opini

Opini: Sudahkah Kita ke Perpustakaan Hari Ini?

Editor: Dion DB Putra
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Edwin Yulisar

Oleh: Edwin Yulisar
ASN Kementerian Agama RI

POS-KUPANG.COM - Perpustakaan banyak pengunjung. Itulah salah satu pernyataan yang sangat diharapkan penulis ketika berkunjung di beberapa perpustakaan untuk membaca buku atau sekadar menulis artikel. 

Namun, penulis merasa pengunjung masih belum banyak. Padahal, perpustakaan zaman sekarang sudah sangat nyaman untuk para pengunjung dibandingkan keadaannya beberapa puluh tahun lalu. 

Fasilitas yang disediakan mulai dari pendingin ruangan, tempat yang luas dan nyaman serta koleksi buku yang lengkap seharusnya menjadi magnet minat para pembaca lintas usia. 

Baca juga: Tingkatkan Literasi Desa, Bupati TTS Resmikan Balai Perpustakaan Desa Nifulinah

Perpustakaan harus menjadi tempat bertukar ide hingga melahirkan dialog imajiner antara pengunjung dan bahan bacaannya. 

Pengunjung yang ramai diharapkan menjadi pemandangan rutin agar perpustakaan menjadi ruang ketiga ternyaman untuk menyegarkan pikiran dengan bacaan sambil mempertajam nalar kritis serta kemampuan berpikir dialektis.

Jika kita jalan-jalan sejenak menuju kota Helsinki, di situ ada perpustakaan yang bernama Helsinki Central Library Oodi. 

Perpustakaan ini dianggap sebagai ruang ketiga bak kepingan surga bagi para penduduk yang memiliki tingkat literasi tertinggi di dunia ini. 

Mengutip dari kompas.id (11/5/25), perpustakaan Oodi bukan hanya digunakan tempat untuk membaca namun juga berbagai aktivitas seperti main catur, latihan musik, latihan menari, nonton film, menggambar bahkan tidur siang. 

Staf perpustakaannya pun mengungkapkan bahwa hal itu dibuat sengaja dirancang untuk semua lapisan masyarakat dengan beragam hobi dan aktivitas. 

Hingga akhirnya, segala deretan aktivitas ini membuat pengunjung berlama-lama betah di sana.

Bukan hanya dalam segi fungsi, perpustakaan Oodi juga memiliki keunggulan arsitektur dari aspek estetika bangunan yang menghadap Parlemen Finlandia yang melambangkan hubungan antara pemerintah dan warga negara. 

Perpustakaan ini juga hemat energi dimana sebagian besar ruangnya didedikasikan untuk fasilitas publik, termasuk bioskop, studio rekaman, ruang kreatif serta area untuk pameran dan acara. 

Dalam hal pencahayaan juga tidak kalah, Oodi dibangun dengan dinding kaca yang dibuat mengelilingi bangunan serta butiran partikel putih menyerupai butiran salju di kaca untuk menghalau sinar matahari langsung serta menjaga penghangat ruangan bekerja dengan baik.

Untungnya, negara kita juga memiliki perpustakaan yang tak kalah bagus dari Oodi mulai dari sarana prasarana yang memadai hingga kegiatan-kegiatan untuk meningkatkan literasi rakyat. 

Akan tetapi, dampak dari gerakan literasi ini belum terlalu masif dalam membangkitkan semangat siswa bercengkrama dengan bahan bacaan di perpustakaan. 

Peran penuh orang tua dan guru masih belum terasa signifikan dalam menggerakkan dunia literasi dari lingkup terkecil seperti rumah dan sekolah untuk meramaikan perpustakaan. 

Guru dan orang tua bukan hanya menjadi motivator namun juga harus menjadi kolaborator menuntun siswa menjadi pembaca handal, berpikir kritis, logis dan dan dialektik.

Menanamkan dogma bahwa perpustakaan sebagai wadah mempertajam nalar dan daya pikir kritis kepada anak bukanlah hal yang mudah di zaman tap-tap layar smartphone  seperti sekarang ini. 

Ponsel pintar yang dimiliki anak bisa menjadi sahabat sejati bahkan mengalahkan kedekatan orang tua sekalipun. 

Mereka tahan seharian duduk menatap layar, scrolling media sosial, bermain game online ataupun melakukan hal sia-sia lainnya namun sangat bosan duduk bersama orang tua ataupun guru melatih literasi mulai dari sekadar ngobrol, diskusi ataupun membedah buku yang sudah dibaca. 

Anak seharusnya lebih literat dengan ponsel pintarnya bukan terjebak dalam kehedonisan sosial media dan tren-tren viral. 

Hal ini dikarenakan beberapa orang tua membiarkan tumbuh kembang anaknya jatuh ke dalam pelukan candu ponsel pintar. 

Sebagian orang tua mempercayakan pendidikan dan kemampuan akademik anaknya di tangan ponsel pintar bukan pada bacaan yang diberikan di rumah, sekolah ataupun perpustakaan sebagai media. 

Orang tua dan guru yang mampu menggerakan literasi adalah sosok yang memiliki tombol kendali anaknya secara moderat dalam penggunaan teknologi sebagai akses terbaik dalam mengelola serta melatih mereka berpikir kritis. 

Kolaborasi guru-orang tua juga harus mampu menanamkan persepsi bahwa kemampuan membaca yang baik adalah warisan terbesar dari tokoh-tokoh pendiri bangsa ini (founding fathers). 

Bangsa ini didirikan oleh founding fathers yang bersahabat dengan buku. 

Sebagai contoh Wakil Presiden Indonesia pertama, Mohammad Hatta, yang memiliki koleksi buku sebanyak tujuh kontainer. 

Bayangkan bagaimana beliau berjibaku meluangkan waktu dan mengolah pikiran dari ide-ide yang didapatkan dari tulisan-tulisan yang dibacanya.

Mohammad Hatta dikenal sebagai cendekiawan serta negarawan sejati  hingga namanya diabadikan di sebuah gedung perkuliahan, Hatta Building di Universitas Erasmus, Belanda. 

Hatta adalah gambaran orang yang bersahabat dengan buku. Perpustakaan dan toko buku bagaikan rumah kedua baginya. 

Beliau bukan hanya memiliki kecerdasan akademik yang unggul tetapi juga memiliki daya nalar kritis di atas rata-rata. 

Capaian keberhasilan Bung Hatta terlihat mulai dari memperjuangkan kemerdekaan Indonesia hingga mampu melahirkan ide-ide untuk meningkatkan kesejahteraan sosial yang tak lekang oleh zaman seperti Koperasi Indonesia.

Koperasi bukan hanya menjadi penemuan jenius namun juga menjadi mahakarya artistik hasil pikiran Hatta yang berhasil diimplementasikan secara masif untuk kepentingan bangsa dengan berlandaskan Pancasila. 

Mohammad Hatta bukan hanya mampu melahirkan konsep namun juga sukses mengaktualisasikan intisari bacaannya menjadi sebuah tindakan untuk kesejahteraan komunal rakyat hingga ke akarnya. 

Jadi, peran guru harus segera dan terus melakukan improvisasi kemampuan Bung Hatta dengan menempa siswa menemukan ide dari bacaan dan mengaktualisasikannya dengan perbuatan, bukan hanya mengajarkan sebuah kata-kata hafalan tanpa makna.

Meminjam perkataan Sri Haldoko di artikel Kompas.id (20/7/25) yang berjudul, “Anak-Anak yang Tak Lagi Bisa Membaca Dunia”, mengungkapkan bahwa kalau tak ada lagi yang percaya pada keajaiban kata, siapa lagi yang akan mengajarkannya? 

Kita tak bisa membaca dunia jika kita tak mencintai kata. Orang tua dan guru harus terus konsisten dalam mengajarkan bahwa membaca bukanlah jalan sunyi namun jalan mencari arti, membuka gerbang dunia yang lebih luas, lebih kaya dan lebih manusiawi. 

Oleh karena itu, perpustakaan akan terus menjadi wadah pertarungan akal dan aktualisasi konsep serta ide lintas generasi. 

Orang tua dan guru harus terus konsisten menjadi garda terdepan memupuk rasa persahabatan siswa terhadap buku bacaan di perpustakaan daripada hanya menatap layar ponsel pintar dan membicarakan tren-tren viral tak jelas agar tidak ketinggalan zaman. 

Bangsa ini harus kembali melahirkan Mohammad Hatta-Mohammad Hatta versi masa depan sebagai role model terbaik dalam mengaktualisasikan ide briliannya demi kepentingan rakyat banyak melalui bacaan-bacaan di perpustakaan. 

Namun, sebelum itu, guru maupun orang tua harus sudah menjadi suri tauladan terbaik sebagai agen penggiat literasi dan siap menahbiskan diri berkomitmen untuk mewujudkan Generasi Emas Indonesia 2045 dengan baris tera Cinta Perpustakaan. 

Dari segala harapan tersebut muncul pertanyaan reflektif sebagai langkah awal tindak-tanduk kita sebagai guru. 

Sudahkah kita meluangkan waktu untuk membaca buku di perpustakaan hari ini kemudian mengaktualisasikan ide bacaan tersebut menjadi tindakan untuk memperbaiki daya pikir siswa? 

Atau hanya menyuruh anak-siswa kita membaca di sana tanpa tahu isi dan intisari buku yang ditugaskan? (*)

Simak terus berita POS-KUPANG.COM di Google News 

 

Berita Terkini