Opini

Opini: Menuju Sekolah Cerdas, Integrasi Deep Learning dan AI dalam Transformasi Pembelajaran 

Editor: Dion DB Putra
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Heryon Bernard Mbuik

Oleh: Heryon Bernard Mbuik
Dosen Universitas Citra Bangsa Kupang - Nusa Tenggara Timur

POS-KUPANG.COM - Dalam pusaran Revolusi Industri 4.0 dan gelombang digitalisasi yang melanda hampir seluruh sektor kehidupan, dunia pendidikan tidak lagi dapat bersembunyi dari penetrasi teknologi canggih, khususnya kecerdasan buatan (Artificial Intelligence/ AI) dan deep learning. 

Di tengah kebutuhan akan pembelajaran yang adaptif, personal, dan kontekstual, AI tidak hanya hadir sebagai alat bantu teknis, tetapi sebagai entitas yang mulai memengaruhi cara berpikir, merancang, dan mengeksekusi proses pembelajaran. Maka, muncul pertanyaan mendesak: apakah sekolah kita siap menjadi “sekolah cerdas”?

Sekolah Cerdas: Bukan Sekadar Digital

"Technology will never replace great teachers, but in the hands of great teachers, it can be transformational." (George Couros)

Konsep “sekolah cerdas” (smart school) bukan hanya tentang ketersediaan perangkat teknologi seperti komputer, proyektor, atau jaringan internet cepat. 

Sekolah cerdas adalah ekosistem pembelajaran yang terintegrasi dengan teknologi mutakhir untuk menciptakan proses belajar yang lebih efektif, efisien, dan bermakna. 

Dalam konteks ini, AI dan deep learning menjadi mesin penggerak utama dalam mempersonalisasi pengalaman belajar, memetakan kebutuhan peserta didik, hingga memberi umpan balik secara real-time kepada guru dan siswa.

Menurut Luckin et al. (2016), kecerdasan buatan dapat membantu guru memahami profil belajar siswa secara lebih mendalam dan dinamis. 

Dengan dukungan algoritma machine learning, sistem dapat mengidentifikasi kesulitan spesifik siswa, merekomendasikan sumber belajar, bahkan menyusun kurikulum individual berbasis kebutuhan nyata. 

Ini adalah bentuk transformasi yang tidak mungkin dilakukan secara manual oleh guru dalam sistem konvensional yang padat murid dan terbatas waktu.

Deep Learning: Melampaui AI Konvensional

"The purpose of learning is growth, and our minds, unlike our bodies, can continue growing as long as we live." (Mortimer Adler)

Berbeda dengan AI klasik yang bekerja berdasarkan aturan tetap (rule-based systems), deep learning yang merupakan cabang dari machine learning meniru cara kerja otak manusia melalui struktur jaringan saraf tiruan (artificial neural networks). 

Teknologi ini memungkinkan sistem komputer “belajar sendiri” dari data yang sangat besar (big data) untuk mengenali pola, menganalisis kecenderungan, dan membuat prediksi.

Dalam konteks pendidikan, deep learning dapat diterapkan pada:

  • Penilaian otomatis esai dan narasi siswa dengan akurasi tinggi.
  • Analisis emosi siswa selama proses belajar daring (melalui pemrosesan wajah dan suara).
  • Pemodelan pembelajaran adaptif yang merekomendasikan konten berdasarkan respons siswa sebelumnya.
  • Pendeteksian dini terhadap risiko putus sekolah berdasarkan perilaku belajar dan interaksi digital siswa.

Sebagai contoh, di Tiongkok, sistem berbasis deep learning telah digunakan untuk memantau ekspresi wajah siswa selama pembelajaran di kelas. 

Meski menuai kontroversi etis, hal ini menunjukkan potensi kuat AI dalam mendeteksi engagement atau kebosanan siswa secara real-time (Zhou et al., 2022).

Transformasi Peran Guru: Dari “Pengajar” Menjadi “Fasilitator Cerdas”

"The art of teaching is the art of assisting discovery." (Mark Van Doren)

Kemajuan AI dan deep learning menuntut redefinisi terhadap peran guru. Dalam sistem pendidikan tradisional, guru adalah sumber utama pengetahuan dan pengendali tunggal proses pembelajaran. 

Namun di era AI, peran guru bertransformasi menjadi fasilitator pembelajaran yang membimbing proses berpikir kritis, reflektif, dan kreatif siswa.

Andreas Schleicher (OECD, 2019) menyatakan bahwa teknologi tidak akan menggantikan guru, tetapi guru yang tidak mampu menggunakan teknologi kemungkinan besar akan digantikan. 

Di sinilah urgensi literasi digital dan kecakapan pedagogi digital bagi pendidik. Guru abad 21 harus mampu membaca data dari sistem AI, menafsirkan hasil diagnostik pembelajaran, serta mengarahkan strategi intervensi berdasarkan wawasan teknologi tersebut.

Dengan demikian, integrasi AI bukan berarti “dehumanisasi pendidikan,” tetapi justru membuka peluang untuk menguatkan aspek-aspek humanis yang tak tergantikan oleh mesin: empati, nilai, spiritualitas, dan relasi personal.

Etika dan Tantangan Implementasi AI

“Not everything that can be counted counts, and not everything that counts can be counted.” (Albert Einstein)

Meski menawarkan berbagai keunggulan, implementasi AI dan deep learning di sekolah juga menghadirkan tantangan serius. Isu privasi dan keamanan data siswa menjadi perhatian utama. 

Sistem deep learning membutuhkan data masif untuk dilatih, dan ini berpotensi mengancam kerahasiaan identitas peserta didik jika tidak dikelola secara etis.

Selanjutnya, terdapat pula potensi bias algoritma. AI dibangun oleh manusia dan belajar dari data historis. Jika data yang digunakan mengandung bias gender, ras, atau status sosial, maka sistem juga akan mereproduksi bias tersebut. 
Misalnya, sebuah algoritma yang menilai prestasi belajar siswa bisa saja lebih menguntungkan kelompok yang dominan secara statistik.

Lebih lanjut, 'kesenjangan digital' masih menjadi hambatan utama di banyak sekolah, terutama di daerah tertinggal. 

Tanpa infrastruktur digital yang memadai dan pelatihan guru yang sistematis, adopsi AI dapat memperlebar jurang ketimpangan pendidikan antardaerah dan antarwilayah.

Langkah Strategis Menuju Sekolah Cerdas

"Vision without action is a daydream. Action without vision is a nightmare." (Japanese proverb)

Transformasi menuju sekolah cerdas berbasis AI dan deep learning menuntut pendekatan yang komprehensif. Beberapa strategi yang dapat diterapkan:

  1. Penyusunan kebijakan nasional tentang integrasi AI dalam pendidikan yang menekankan aspek etika, keadilan, dan keamanan data.
  2. Pelatihan intensif bagi guru dan tenaga kependidikan tentang literasi AI, interpretasi data, dan pedagogi digital berbasis sistem cerdas.
  3. Kemitraan strategis dengan sektor teknologi (edutech startups, universitas, platform AI) untuk pengembangan konten, pelatihan, dan infrastruktur.
  4. Penerapan prinsip pembelajaran hibrid berbasis teknologi untuk memadukan keunggulan digital dan kekuatan interaksi manusiawi.
  5. Evaluasi berkelanjutan dan partisipatif yang melibatkan siswa, orang tua, guru, dan pakar teknologi dalam menilai efektivitas sistem AI di sekolah.

Penutup: Sekolah Masa Depan yang Membebaskan

"Education is not the learning of facts, but the training of the mind to think." (Albert Einstein)

Integrasi AI dan deep learning bukan sekadar tren teknologi, melainkan keniscayaan dalam mewujudkan sistem pendidikan yang lebih adaptif, kontekstual, dan manusiawi. 

Namun, teknologi bukanlah jawaban mutlak ia hanyalah alat. Yang menentukan adalah nilai, visi, dan orientasi kemanusiaan dari setiap pemanfaatannya.

Sekolah yang cerdas adalah sekolah yang mampu mengolah kecanggihan teknologi menjadi sarana pembebasan, bukan dominasi. 

Ia memampukan guru untuk lebih peka, siswa untuk lebih reflektif, dan sistem untuk lebih adil. 

Dengan demikian, integrasi AI bukan sekadar revolusi digital, tetapi harus menjadi revolusi pedagogis yang berpihak pada pembentukan manusia yang utuh: berpikir kritis, berjiwa bebas, dan bertindak bijak. (*)

Simak terus berita POS-KUPANG.COM di Google News

 

Berita Terkini