Oleh: Abner Paulus Raya Sanga
Pecinta Seni Teater, tinggal di Kota Kupang, Nusa Tenggara Timur
POS-KUPANG.COM - Ada satu hal yang saya suka dari tulisan Bapak Pieter Kembo di Pos Kupang.com (Rabu, 9 Juli 2025) tentang teater berbasis budaya di Nusa Tenggara Timur ( NTT).
Ia berhasil membangunkan selera kita untuk membayangkan panggung-panggung megah dengan latar belakang gunung, ombak, atau mungkin ritual adat yang mistis.
Ide dasarnya, jujur saja, sangat menggoda: NTT itu kan permadani budaya yang melimpah ruah!
Bayangkan saja tarian perang dengan iringan gong, legenda seorang putri di Pulau Rote yang cantik jelita versi teater modern romantik dan menyentuh hati, atau mungkin drama komedi tentang lika-liku hidup Raja Laku Leik yang bengis. Potensinya wah sekali!
Pieter Kembo, lewat tulisannya, seolah berteriak, "Woi! Kita punya emas batangan di sini! Mari kita ukir jadi perhiasan teater!"
Untuk semangat itu, saya acungkan jempol, bahkan mungkin sambil menyeduh kopi asli dari Flores yang pahitnya pas dengan realita.
Premisnya kokoh: teater bisa jadi cermin, kritik, dan pelestari budaya. Ia mengajak kita bermimpi tentang pementasan epik yang bikin bulu kuduk merinding sekaligus bangga jadi orang NTT.
Ini bukan sekadar ajakan biasa; ini adalah panggilan untuk menyadari bahwa di balik keramaian kota dan proyek-proyek pembangunan, ada jiwa yang haus akan ekspresi dan suara.
Namun, mari kita duduk sejenak, nikmati seduhan kopi Flores itu, dan lihat lebih dekat. Membangun teater yang berbasis budaya dan relevan bukanlah seperti menyusun rencana piknik biasa.
Ini lebih mirip merencanakan ekspedisi ke puncak gunung yang belum terpetakan.
Pertanyaan-pertanyaan mengemuka: bagaimana caranya mengubah ritual sakral menjadi tontonan tanpa kehilangan rohnya?
Bagaimana membangun iklim teater yang kondusif di tengah kesibukan mencari nafkah? Atau bagaimana melatih aktor-aktor lokal yang mungkin lebih piawai memanen jagung ketimbang menghayati peran tragis?
Sebelum kita melangkah lebih jauh, mari sejenak menengok sejarah. Teater itu bukan barang baru yang tiba-tiba muncul di panggung-panggung kota.
Akar teater jauh lebih tua dari yang kita bayangkan, berawal dari ritual-ritual keagamaan primitif yang dilakukan di gua-gua atau sekitar api unggun.
Di berbagai peradaban kuno, manusia menggunakan gerak, suara, dan cerita untuk berkomunikasi dengan dewa, merayakan panen yang melimpah, mengusir roh jahat, atau mengenang nenek moyang mereka.
Ritual-ritual ini, dengan elemen dramatisnya —ada konflik, resolusi, dan performa—adalah benih pertama teater. Mereka bukan sekadar "tontonan" tapi bagian integral dari kehidupan sosial dan spiritual.
Kemudian, di Yunani Kuno, sekitar abad ke-6 SM, teater mulai bertransformasi menjadi bentuk yang lebih terstruktur dengan drama tragedi dan komedi yang kita kenal sekarang.
Pementasan di amfiteater megah itu bukan hanya ritual, tapi juga forum publik untuk diskusi filosofis, politik, dan kritik sosial yang tajam.
Para dramawan seperti Aristophanes, misalnya, terkenal karena komedi satir mereka yang terang-terangan mengkritik politikus korup, kebijakan perang yang bodoh, atau kondisi sosial Athena kala itu.
Jadi, sejak awal kemunculannya, teater sudah punya DNA sebagai alat kontrol sosial, bukan sekadar hiburan kosong pengisi waktu luang.
Ia adalah suara rakyat yang dibungkus dalam narasi dan akting, disampaikan di ruang publik.
Seiring berjalannya waktu, teater berkembang dalam berbagai bentuk di seluruh dunia, dari Wayang Kulit yang sarat filosofi di Jawa, Kabuki yang flamboyan di Jepang, hingga Commedia dell'arte yang penuh improvisasi di Italia.
Bahkan di era modern, teater sering menjadi garis depan pergerakan sosial dan politik, menyuarakan keadilan, menantang tirani, dan mendorong perubahan.
Namun, benang merahnya tetap sama: teater adalah cermin hidup masyarakatnya, selalu punya potensi untuk berbicara, bertanya, bahkan menuduh, dengan cara yang kadang lebih kuat dan menghujam daripada pidato-pidato formal, artikel berita, atau bahkan unjuk rasa.
Ia punya kemampuan untuk menembus hati dan pikiran, memicu empati dan pemikiran kritis.Dan di sinilah kita kembali ke poin krusial untuk Kupang dan seluruh NTT.
Teater, khususnya yang berbasis budaya, tidak boleh hanya menjadi etalase cantik yang menampilkan kebudayaan untuk wisatawan atau laporan dinas pariwisata yang tersimpan rapi di laci.
Ia harus lebih dari itu! Jika teater hanya berhenti di fungsi "pelestarian budaya" secara superfisial, ia akan kehilangan daya gigitnya, menjadi sekadar fosil indah yang dipamerkan, bukannya organisme hidup yang bernapas dan bereaksi terhadap lingkungan.
Teater harus menjadi ruang kritik sosial yang berani dan cerdas. Ia harus berfungsi sebagai alat kontrol terhadap kebijakan pemerintah, bahkan menjadi semacam auditor publik yang "nyeleneh" tapi jujur.
Bayangkan sebuah pementasan yang satir menyentil kebijakan pembangunan yang kurang merata di pelosok NTT, atau drama komedi gelap tentang birokrasi yang berbelit-belit, lamban, dan mungkin sedikit "nakal" di kantor-kantor pemerintahan.
Teater punya kekuatan untuk menyuarakan keresahan rakyat, kegelisahan para petani, atau harapan para nelayan, dengan cara yang kadang lebih mengena daripada demonstrasi di jalan atau keluhan di media sosial.
Kenapa teater punya kekuatan ini? Karena ia membungkus kritik dalam estetika, emosi, dan cerita yang bisa membuat penonton berpikir sambil tertawa, terenyuh, atau bahkan marah.
Ia menawarkan perspektif yang berbeda, memaksa audiens untuk melihat masalah dari sudut pandang yang mungkin belum pernah mereka bayangkan.
Teater bisa jadi alat untuk menanyakan, "Sudah benarkah pembangunan jalan itu, Pak Gubernur, yang konon mangkrak di tengah hutan belantara?
Bagaimana dengan proyek geotermal yang katanya demi listrik tapi justru mengancam kearifan lokal?
Pak Wali Kota, bagaimana soal kebersihan kota Kupang yang masih sering jadi sorotan?"
Tentu saja, kritik ini disampaikan dengan gaya teater yang elegan, penuh metafora, dan kadang dibumbui humor pahit, bukan orasi di mimbar bebas.
Ini membutuhkan keberanian luar biasa dari para seniman untuk bersuara, dan juga kesediaan pemerintah untuk mendengarkan "suara" dari panggung —bahkan jika suara itu terdengar sumbang di telinga mereka.
Ini adalah ujian bagi kebebasan berekspresi dan kematangan berdemokrasi.
Apakah tulisan Bapak Pieter Kembo cukup kuat untuk mendorong kita semua, dari seniman hingga pembuat kebijakan, menyoroti potensi teater sebagai pengawas yang artistik ini?
Sentilan dari Bapak Pieter Kembo memang penting. Ia mengingatkan kita bahwa di tengah pesatnya pembangunan fisik Kupang, jiwa dan identitas kota ini juga harus dipupuk melalui seni.
Namun, sentilan itu perlu dibarengi dengan analisis yang lebih tajam mengenai "jalan tempuh" dan "bahan bakar" yang dibutuhkan untuk mewujudkan mimpi besar ini.
Sebab, membangun iklim teater yang hidup dan berdaya kritik itu tidak semudah membalik telapak tangan.
Kita perlu memikirkan: Pembibitan Seniman; Bagaimana cara mencetak aktor-aktor lokal, sutradara, penulis naskah, dan kru yang mumpuni? Apakah ada sekolah seni atau sanggar yang serius dan berkelanjutan?
Pendanaan yang Konsisten; Dari mana dana operasional yang stabil? Apakah kita masih harus bergantung pada "proposal nasib" yang tak pasti setiap kali ada ide pementasan?
Pemerintah daerah, lembaga swasta, dan bahkan masyarakat harus sadar bahwa investasi pada seni adalah investasi pada kualitas SDM dan daya saing kota.
Ruang Kreatif yang Memadai; Apakah Kupang punya gedung teater yang layak, bukan sekadar aula serbaguna yang beralih fungsi? Atau setidaknya, ruang latihan yang representatif dan terjangkau?
Apresiasi Publik; Bagaimana cara meningkatkan minat masyarakat untuk menonton teater, apalagi teater yang kritis?
Promosi kreatif, tiket terjangkau, dan kualitas pementasan yang tak diragukan lagi adalah kuncinya.
Semoga saja, "piknik konsep" yang menyenangkan ini tidak berhenti di tengah jalan.
Semoga sentilan dari Bapak Pieter Kembo bisa mengajak kita bukan hanya bermimpi tentang teater berbasis budaya di NTT, tetapi juga mulai mengidentifikasi secara konkret siapa yang harus bergerak, apa yang harus dilakukan, dan bagaimana cara mengatasi "kerikil di sepatu" agar panggung-panggung di NTT benar-benar bisa menunjukkan kehebatannya, bukan hanya di atas kertas, tapi di atas panggung yang megah dan menyala.
Dan tentu saja, tanpa perlu drama "pemadaman listrik" di tengah pertunjukan, yang ironisnya, bisa jadi bahan pementasan teater kritik itu sendiri. Salam. (*)
Simak terus berita POS-KUPANG.COM di Google News