Liputan Khusus

LIPSUS: 145.268 Anak NTT Tidak Sekolah, Cita-cita Api Ingin Jadi Polisi Pupus di Pasar

AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

SOSOK API LINOME- Sosok bocah Api Linome (12) saat mengamati para pengunjung pasar yang selesai belanja untuk menawarkan jasa angkat barang di Pasar Inpres Naikoten, Kota Kupang.   

POS-KUPANG.COM, KUPANG - Hingga tanggal 8 Juli 2025 jumlah Anak Tidak Sekolah (ATS) di Provinsi NTT mencapai 145.268 anak yang tersebar di 22 kabupaten/kota. 

Menurut data Balai Penjaminan Mutu Pendidikan (BPMP) NTT yang diperoleh Pos Kupang, Senin (14/7), Kabupaten TTS merupakan penyumbang terbesar anak tidak sekolah dengan angka 22.459.

Diikuti kabupaten Sumba Barat Daya  sebesar 13.900 dan Kabupaten Kupang sebanyak 11.628 anak. 

Ada sejumlah alasan anak-anak tersebut tidak sekolah yaitu, anak tidak mau sekolah, tidak ada biaya, sekolah jauh dari rumah dan merasa cukup dengan tingkat pendidikan yang ada. 

“Kami terus mendorong agar  pemerintah daerah  melalui berbagai kebijakan harus terus berupaya membebaskan biaya pendidikan di sekolah negeri agar semua anak memiliki akses pendidikan yang sama. Dengan demikian, orangtua dari keluarga miskin tidak lagi menangis diam-diam karena tak mampu memenuhi angka yang dicantumkan dalam rincian biaya sekolah setiap tahun yang terus mencekik,” ujar Plt Kepala BPMP NTT, Irfan Karim.

Irfan Karim

Menurut Irfan Karim, data yang sempat tersampaikan ke publik merupakan data yang mengacu pada Dapodik per Juli 2025. “Memang data ATS besar. Tapi tidak masuk lima besar secara nasional," katanya, Senin (14/7). 

Irfan Karim mengatakan, BPMP NTT melakukan berbagai upaya untuk mengatasi masalah itu di antaranya kampanye wajib belajar 13 tahun. Kegiatan itu merumuskan tindak lanjut untuk setiap daerah dalam upaya mengurai ATS. 

Langkah lainnya, kata Irfan Karim, melakukan verifikasi data ke semua pihak. BPMP NTT menjembatani dengan melihat kembali data-data yang ada dengan melibatkan dinas teknis terkait yakni PMD maupun kependudukan. 

Data ATS, kata Irfan Karim, muncul dari berbagai aspek seperti anak murni tidak sekolah, anak yang bersekolah tapi invalid data di dapodik, ada yang karena persoalan lainnya seperti drop out, tidak melanjutkan pendidikan. 

Irfan Karim menyebut, data tersebut kebanyakan pada rentang usia dari 5-21 tahun. Solusinya, dilakukan penerapan beberapa strategi yang direkomendasikan.  

"Misalnya menggunakan pendidikan non formal Paket A, B, dan C bagi anak-anak yang tidak terjangkau sekolah formal. Kami juga memaksimalkan sekolah satu atap," kata Irfan Karim. 

Langkah lainnya, lanjut Irfan Karim, menggunakan sekolah terbuka, termasuk pendidikan jarak jauh. Solusi ini akan disampaikan ke setiap Pemerintah. Dengan begitu maka saat implementasi kebijakan bisa berjalan maksimal. 

"Data yang ada dikonfirmasi lagi. Data ini belum final. Tugas kami di BPMP mengkonfirmasi data ini. Kami kerja sama dengan Dinas Pendidikan, PMD menghadirkan operator desa untuk mengkonfirmasi data itu dengan NIK. Data yang ada kemungkinan bisa berubah seiring verifikasi data yang dilakukan. BPMP NTT menyebut upaya itu dengan perapian data residu,” ujar Irfan Karim. 

Ditambahkan Irfan Karim, ada 14 kategori ATS versi Kementerian Pendidikan seperti anak yang tidak mau sekolah, anak yang bekerja, ATS yang karena kondisi geografis, ATS yang putus sekolah karena faktor ekonomi dan lainnya. 

"Untuk menurunkan ini kita perlu melakukan secara sistematik. Kita bekerja sama-sama. Kami BPMP sebagai wakil Kementerian, berusaha melakukan itu, mengadvokasi Pemerintah Daerah untuk menurunkan ATS sesuai dengan kapasitas masing-masing Pemerintah Daerah," kata Irfan Karim. 
 
Akumulasi Tiga Kategori 

Halaman
1234

Berita Terkini