Oleh: Heryon Bernard Mbuik
Dosen tetap pada Program Studi PGSD, Dekan Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan, Universitas Citra Bangsa, Kupang. Fokus penelitian pada kepemimpinan pendidikan, dan kebijakan publik.
POS-KUPANG.COM - Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) No. 135/PUU-XXII/2024 tentang pemisahan jadwal pemilu nasional dan daerah merupakan langkah hukum yang mengejutkan sekaligus strategis.
MK memerintahkan agar pemilu nasional (presiden, DPR, DPD) tidak lagi diselenggarakan bersamaan dengan pemilu daerah (DPRD dan kepala daerah), dan keduanya harus diberi jeda waktu minimal 2 tahun dan maksimal 2,5 tahun.
Secara substantif, putusan ini merupakan kritik yuridis terhadap konsekuensi buruk pemilu serentak penuh.
MK menilai bahwa tumpukan pemilihan dalam satu waktu telah menurunkan kualitas pemilu, memperlemah representasi lokal, dan membebani penyelenggara serta pemilih.
Argumen tersebut bukan tanpa dasar. Fakta empirik dari Pemilu 2019 dan 2024 menunjukkan kelelahan masif penyelenggara, kebingungan pemilih, serta bias media yang lebih banyak mengangkat kontestasi nasional.
Sejumlah pakar hukum tata negara, seperti Dr. Feri Amsari dan Prof. Zainal Arifin Mochtar, menyambut positif keputusan tersebut sebagai koreksi terhadap sistem pemilu yang terlalu transaksional.
Namun di balik euforia korektif ini, kita tidak boleh menutup mata terhadap persoalan mendasar: Apakah Mahkamah Konstitusi tidak melampaui kewenangannya?
Kritik atas Wewenang MK: Melewati Batas atau Memenuhi Amanat Konstitusi?
Pasal 24C ayat (1) UUD 1945 dan Pasal 10 ayat (1) UU No. 24 Tahun 2003 mengatur bahwa Mahkamah Konstitusi memiliki kewenangan untuk:
1. Menguji undang-undang terhadap UUD 1945,
2. Memutus sengketa kewenangan antar-lembaga negara,
3. Memutus pembubaran partai politik, dan
4. Memutus perselisihan hasil pemilu.
Dari sini terlihat bahwa MK tidak berwenang membentuk norma baru, melainkan hanya menguji konstitusionalitas norma yang sudah ada.