POS-KUPANG.COM, KUPANG - Dalam kesunyian, suara jarum melintasi benang menjadi irama penyemangat hidup bagi Febby Nitte. Hal tersebut bukan sekadar hobi.
Sebab, hal itu telah menjadi bagian dari perjalanan penyembuhan batin, proses membangun kepercayaan diri, hingga jalan memberdayakan perempuan di sekitarnya.
ENT Handycraft nama badan usahanya dan dia sudah memulai usaha ini sejak tahun 2014. ENT Handicraft adalah rajutan kombinasi Tenun NTT yang dikerjakan sendiri.
Menurut Febby Nitte, dia menggeluti hal tersebut awalnya adaah sebagai bentuk pengalihan trauma masa lalu.
“Awalnya saya merajut hanya sebagai terapi, pelarian dari masa lalu. Tapi dari situ saya merasa ini lebih dari sekadar hobi. Ini mengubah cara saya memandang hidup,” kata Febby Nitte, saat diwawancarai Pos Kupang, Sabtu (21/6).
Baca juga: FEATURE: Cerita Difabel Netra di Flores Timur, Bermusik Pakai Insting Bukan Mata
Dengan mata tajam mengikuti alur pola dan tangan yang lincah memainkan benang, Febby bercerita bagaimana kegiatan sederhana itu telah memberinya ruang untuk bertumbuh.
Ia mengakui, saat pertama kali mengenal dunia tersebut, dirinya tengah berada dalam fase hidup yang penuh beban emosional.
“Saya butuh sesuatu yang bisa bantu saya tenang, fokus. Merajut ternyata bisa jadi sarana itu,” ujar Febby Nitte.
Bahan yang digunakan dari benang wol dan juga benang polyester. Bagi Febby Nitte, setiap pola rajut bukan sekadar teknik atau estetika visual, melainkan latihan mental. Merajut mengajarkannya kesabaran, ketelitian, dan ketekunan.
“Saat merajut, kita belajar untuk konsentrasi penuh. Kalau tidak fokus, polanya akan salah. Itu sama seperti hidup. Kalau kita asal jalan, hasilnya bisa berantakan,” ujar Febby Nitte sambil tersenyum.
Sebagai ibu rumah tangga, istri, dan ibu dari anak-anaknya, Febby Nitte mengaku merajut membantunya menghadapi dinamika keluarga dengan lebih tenang.
Baca juga: FEATURE: Cerita Difabel Netra di Flores Timur, Bermusik Pakai Insting Bukan Mata
“Merajut membuat saya lebih sabar. Dari sini saya belajar menyelesaikan masalah pelan-pelan, tidak buru-buru. Karena tidak semua hal bisa diselesaikan secara instan,” ungkap Febby Nitte.
Setelah mulai menghasilkan produk-produk rajutan seperti tas, topi, dompet, dan taplak meja, Febby Nitte mencoba menjualnya secara daring maupun melalui pameran UMKM.
Tak disangka, produk-produk buatannya mendapat respons positif. Dari sinilah muncul semangat baru menjadikan merajut sebagai sumber ekonomi alternatif.
Harga yang dipasarkan mulai dari Rp 15. 000 hingga Rp 700. 000 dan sesuai pesanan.
“Saya merasa bangga saat orang lain pakai produk saya. Rasanya seperti, ‘wah, saya bisa juga, Dari situ muncul rasa percaya diri,” tutur Febby Nitte.
Febby Nitte bisa mendapatkan keuntungan hingga Rp3 - Rp5 juta per bulan dan per tahun mencapai Rp 150 juta.
Menurut Febby Nitte, kepercayaan diri sangat penting dimiliki oleh setiap perempuan. Hal itu bisa membuat perempuan bisa lebih kuat, lebih tahan banting.
Baca juga: FEATURE: Kiprah Prodi TPH Politani Negeri Kupang Mahasiswa Belajar Tanam dan Jual Tomat
“Bahkan saya percaya, perempuan yang percaya diri bisa lebih tegas dalam menghadapi tekanan rumah tangga. Ini bisa jadi salah satu cara mencegah kekerasan dalam rumah tangga,” tegas Febby Nitte.
Kini Febby Nitte tak hanya merajut untuk dirinya sendiri. Dia mulai mengajak perempuan lain di sekitar tempat tinggalnya, termasuk remaja putri dari kampung-kampung, untuk belajar merajut.
Baginya, ini adalah bagian dari misi kecil untuk membangun kemandirian ekonomi perempuan di lingkungan lokal.
Meski banyak yang antusias pada awalnya, Febby Nitte mengakui bahwa menjaga konsistensi menjadi tantangan utama.
“Banyak yang semangat saat pelatihan atau diajar pertama kali. Tapi semangat itu sering cepat hilang. Besoknya mereka kembali ke rutinitas, lupa benang dan jarum,” ujar perempuan asal Sikumana ini.
Baca juga: FEATURE: Menghidupkan Ruang Bersama di Film Festival 2025 Bioskop Pasiar Putar Film Gratis
Febby Nitte menambahkan, tantangan terbesar bukan pada keterampilan teknis, melainkan pada semangat untuk bertahan.
Dalam kondisi ekonomi yang berat, banyak perempuan butuh penghasilan, tapi sulit untuk disiplin dan konsisten. Kadang mentalnya sudah lelah duluan.
Untuk itu, Febby Nitte tidak hanya mengajarkan teknik merajut, tetapi juga mencoba membangun ruang diskusi dan saling dukung antarperempuan.
Febby Nitte percaya bahwa dengan saling menguatkan, perempuan akan lebih tangguh dalam menghadapi realitas hidup sehari-hari.
Menurut Febby Nitte, karya rajutan yang tampak rapi di luar, sejatinya memiliki struktur pola yang kompleks di dalam.
Hal ini menjadi simbol bagaimana perempuan membentuk dirinya: dari potongan-potongan hidup yang tak selalu mudah, hingga menjadi pribadi yang utuh dan kuat.
“Kalau kita tidak hafal polanya, tidak teliti, hasilnya akan berbeda. Ada aturan dan kesabaran yang harus dipelajari. Sama seperti membangun keluarga atau mengelola hidup. Harus pelan-pelan dan sabar,” kata Febby Nitte sambil menunjukkan pola rajutan simetris yang sedang ia kerjakan.
Baca juga: FEATURE: Festival Uwi Kaju di Ende, Uta Damba, Makanan Tradisional Suku Lio
Kini, ia ingin terus mengembangkan komunitas perempuan perajut dan membuka peluang pelatihan lebih luas.
“Saya ingin lebih banyak perempuan punya penghasilan dari rumah. Bukan cuma karena butuh uang, tapi karena mereka butuh percaya diri dan merasa berharga,” pungkas Febby Nitte.
Keterampilan yang harus dikuasai dalam merajut yaitu menjahit, menghafal dan memadukan warna untuk menghasilkan karya yang baik.
Febby Nitte telah membuktikan bahwa dari benang-benang halus, bisa tumbuh kekuatan besar.
Dalam tiap helai rajutannya, tersembunyi kisah perjuangan, harapan, dan keyakinan bahwa perempuan mampu menyulam hari esok yang lebih baik dengan sabar, tekun, dan percaya pada diri sendiri. (Iar)