Oleh: Welhelmus Poek
Aktivis NGO, sangat konsen terhadap program pemberdayaan masyarakat dan pengembangan energi terbarukan di NTT, tinggal di Kota Kupang
POS-KUPANG.COM - Belakangan ini, isu energi di Nusa Tenggara Timur (NTT) kembali menghangat.
Penolakan terhadap proyek panas bumi (geothermal) mencuat dari berbagai elemen masyarakat yang khawatir akan dampak lingkungan, sosial, dan budaya.
Suara-suara ini mencerminkan pentingnya melibatkan masyarakat secara bermakna dalam setiap pengambilan keputusan besar, termasuk di sektor energi.
Namun di balik kontroversi geothermal, ada sumber energi lain yang sesungguhnya lebih tenang namun potensial: matahari.
Dengan radiasi yang melimpah sepanjang tahun, tenaga surya dapat menjadi alternatif strategis yang jauh lebih bisa diterima masyarakat jika dikelola dengan pendekatan yang tepat.
NTT memiliki limpahan energi terbarukan dari alamnya: panas bumi, angin, air, dan terutama sinar matahari. Sayangnya, potensi ini belum sepenuhnya dimanfaatkan secara maksimal.
Di saat berbagai proyek besar masih berpolemik, ada peluang besar yang bisa digarap dari desa-desa terpenci, menghadirkan energi bersih lewat teknologi tenaga surya yang terbukti efektif, murah, dan lebih diterima secara sosial.
Artikel ini menyoroti praktik baik dari Desa Mata Redi dan Mata Woga yang sudah lebih dulu melangkah, menunjukkan bahwa swasembada energi bisa dimulai dari akar rumput, bukan dari megaproyek kontroversial.
Bicara soal transisi energi, kita sering membayangkan pabrik raksasa, jaringan kabel berkilometer, atau kota-kota besar yang gemerlap. Padahal, sejatinya, perubahan paling revolusioner justru bisa dimulai dari desa.
Ya, dari desa terpencil di Nusa Tenggara Timur (NTT), kita bisa belajar bagaimana kemandirian energi bukan hanya mungkin, tapi juga sangat berdampak.
Provinsi NTT punya potensi energi surya yang luar biasa. Rata-rata radiasi matahari di wilayah ini mencapai 5,2 kWh/m⊃2; per hari.
Tapi ironisnya, masih banyak desa yang belum menikmati listrik secara andal. Di sinilah masalahnya. Bukan karena teknologinya belum ada, tapi karena tata kelola dan pendekatan pembangunan yang belum berpihak pada masyarakat.
Berbagai proyek pembangkit listrik tenaga surya (PLTS) off-grid memang sudah dibangun. Tapi banyak yang rusak, mangkrak, atau bahkan tidak dipakai. Penyebabnya klasik: kelembagaan yang lemah, minimnya pelatihan, dan tidak adanya integrasi dengan kegiatan ekonomi warga.
Namun, di tengah banyaknya kegagalan itu, ada satu proyek yang bisa jadi inspirasi: Proyek MENTARI di Desa Mata Redi dan Mata Woga, Kabupaten Sumba Tengah.