Oleh: Berno Jani
Mahasiswa Institut Filsafat dan Teknologi Kreatif Ledalero, Maumere - NTT
POS-KUPANG.COM - Belakangan ini teknologi kecerdasan buatan (AI) menjadi produsen konten yang masif, cepat, dan nyaris tanpa batas.
Salah satu dari sekian banyak fenomena adalah maraknya foto maupun video berbasis AI, yang memadukan manipulasi suara dan visual dengan tujuan hiburan, sindiran, maupun provokasi.
Namun, ketika unsur agama dimasukkan tanpa tanggung jawab etis, maka yang muncul adalah bentuk penistaan terhadap agama. Seperti foto memdiang Paus Fransiskus yang bersekutu dengan Lucifer maupun tokoh agama lainnya.
Konten semacam ini, alih-alih menjadi alat kreatif untuk mengekspresikan pendapat, justru memantik konflik sosial yang memecah-belahkan prinsip persatuan dan toleransi.
Di sinilah pentingnya membangun literasi etika digital. Literasi bukan hanya soal melek teknologi, melainkan juga soal bagaimana manusia memperlakukan teknologi sebagai cerminan nilai dan tanggung jawab.
Ketika meme AI digunakan untuk menyentuh ranah keagamaan atau identitas spiritual tertentu, maka timbulah permusuhan.
Dalam menanggulangi problematika ini, saya memakai pemikiran Jonathan Haidit.
Jonathan Haidt menyebut fenomena ini sebagai bagian dari “tribalisme digital”, di mana media sosial memperkuat loyalitas kelompok dan memicu polarisasi.
Ia menegaskan bahwa AI harus tetap memperhatikan kebijaksanaan moral yakni bagaimana menjaga ekspresi tetap dalam batas yang tidak melukai keyakinan orang lain.
Kendatipun bangsa Indonesia mengedepankan kebebasan berpendapat, tetapi prinsip saling menghormati dan menjaga harmoni antarumat beragama harus tetap dijunjung tinggi.
Menjaga Kebebasan Beragama
Perkembangan teknologi kecerdasan buatan (AI), khususnya dalam bentuk foto atau video meme, telah menciptakan tantangan baru dalam menjaga kebebasan beragama dan kerukunan umat di Indonesia.
Foto atau video meme AI memungkinkan manipulasi visual dan audio terhadap tokoh atau simbol keagamaan secara realistis yang kerap dikemas dalam bentuk humor, sindiran, atau bahkan ejekan terbuka.
Hemat saya, kebebasan berekspresi di sini sudah “melampaui batas” karena menjadi sumber konflik yang terwujud dalam bentuk penistaan agama apabila isi foto atau video yang merendahkan ajaran, simbol, atau tokoh agama tertentu.