Opini

Opini: Bahaya Narsisme dan Filsafat Byung-Chul Han

Editor: Dion DB Putra
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Byung-Chul Han

Di dalam La sociedad del cansancio, Han mengusulkan penanggulangan logika Marxis, yang mana terdapat tuan dan budak, kapitalis dan yang dieksploitasi. 

Han menegaskan bahwa hubungan kekuasaan, sebagaimana Foucault memahaminya dalam istilah “Harus” atau “Tidak boleh” dalam konteks masyarakat yang disiplin, telah diatasi. Apa yang kita miliki sekarang? 

Kita memiliki logika “Just do it”, atau bahkan “let’s do it” —seperti logo Nike, lakukanlah, kita dapat melakukannya—dan jika kita tidak bisa, kita telah gagal dan kita bersalah. Hal ini mengarah kepada perbudakan terhadap proyek atau tujuan kita sendiri.

Menurut Han, kita menjadi budak bagi diri kita sendiri—autoeksploitasi. Inilah logika kewirausahaan dan budaya wirausahawan yang mendorong dirinya sendiri hingga ke titik patologi. Patologi apa? 

Han berbicara tentang depresi sebagai pandemik abad ke-21, sindrom defisit perhatian dan burnout. 

Banyak di antaranya berkaitan dengan rangsa berlebihan, tidak menyisakan waktu untuk bersantai, yang sesungguhnya tidak menyisakan waktu untuk berpikir, untuk melarikan diri dari masyarakat yang terlalu mudah terangsang. 

Hasilnya, selain keletihan, juga menjadi yang begitu rentan: seseorang menjadi makin lebih rentan karena tidak mau berpikir, tidak mampu berefleksi atau kontemplasi, hanya mampu menanggapi rangsangan dari luar, dan sesungguhnya jika tidak berpikir, ia tidak bebas, tidak dapat memutuskan apa pun.

Itulah risiko besar yang dihadapi masyarakat jika menjadi masyarakat yang letih secara eksistensial, burnout dan spiritual.

Masyarakat yang amat keletihan dan transparansi yang digambarkan Han ini harus dibingkai dalam sebuah mekanisme kekuasaan yang berusaha menyenangkan dan merayu alih-alih menundukkan atau mendisiplinkan. 

Hal ini diekspresikan melalui dinamika lingkungan digital dan jejaring sosial melalui tombol “suka” dan “super” di Facebook, Ig, dll., dan tingkat kasih sayang dan pengakuan, yang mengarah pada perluasan skema biaya-manfaat, yang merupakan ciri khas homo oeconomicus, dalam
setiap bidang manusia agar dapat “berkinerja” lebih baik dan memposisikan diri lebih baik secara pribadi dan profesional dalam kerangka persaingan yang semakin ketat yang menguras dan mencegah semua kebebasan yang mungkin.

Ruang Privasi Tercabik

Dengan hilangnya ruang privasi di media sosial, kita mengekspos diri kita sendiri secara berlebihan dan mengungkapkan apa yang kita makan, apa yang kita kenakan, apa yang kita lihat di jalan, apa yang kita rasakan: Semuanya kita unggah ke media sosial agar mendapatkan “suka” atau “super” dari pengguna media sosial lainnya. 

Dulu, yang penting adalah menjadi diri sendiri, seperti yang diajarkan Sokrates, “Kenalilah dirimu sendiri!”, mengetahui siapa diri kita; mengapa dan untuk apa kita dilahirkan; apa yang dapat dan apa yang mesti kita buat dan lakukan; apa yang membuat kita harus bertahan, menunggu, dan berjuang di sini kini. 

Dalam kapitalisme, yang terpenting adalah apa yang kita miliki: memiliki dan menunjukkan apa yang saya miliki memberikan kita nilai. 

Saat ini yang paling penting juga adalah penampilan: orang lain dapat melihat penampilan saya dalam konteks transparansi yang tidak menyisakan ruang privasi. 

Halaman
1234

Berita Terkini