NTT Terkini

Regulasi untuk Mengatur Belis di NTT, Emi Nomleni Sebut Belum Waktunya 

Penulis: Michaella Uzurasi
Editor: Oby Lewanmeru
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

BELIS - Wawancara eksklusif Ketua DPRD NTT, Emi Nomleni dan Direktris LBH APIK NTT, Ansy Damaris Rihi Dara oleh Korlip Pos Kupang Novemy Leo terkait belis di NTT.

Belis itu kan simbolis, ketika diikuti secara ketat, secara purnabakti, semuanya diikuti tapi apakah itu juga menjamin kelanggengan, kebahagiaan, tujuan dari pernikahan itu? Kan tidak juga karena itu mari kita memberi nilai, belis itu harus ditarik kembali kepada nilai esensinya.

Memberi nilai, nilai apa? Nilai kekerasan kah? Anti kekerasan kah? Atau keadilan dan kesetaraan? Yang mau kita capai adalah nilai keadilan dan kesetaraan jadi ketika konteks belis itu kita lihat sekarang misalnya memberikan dampak yang tidak menunjukkan nilai-nilai keadilan dan kesetaraan maka itu harus dibicarakan. Itu harus didiskusikan kembali seperti yang disampaikan oleh pak Dedi Dan ma Emi tadi.

Dibicarakan karena kita juga adalah negara hukum yang mengakui ada masyarakat hukum adat, ada tua adat dan seterusnya dan kita hidup dalam sebuah komunal maka memang itu harus dibicarakan dari sana yang tadi saya bilang bagaimana gap generasi yang tua, yang membuat regulasi aturan adat itu, juga membuka diri untuk menyampaikan semua regulasi aturan adat itu kepada generasi berikut.

Gap-gap itulah yang ketika generasi baru mengikuti prosedur itu dia tidak paham apa yang terjadi, proses KDRT itu berjalan karena dia melihat saya sudah belis kau, jadi seperti kata beli barang atau hewan, bahkan ada yang ketika dia pukul isterinya, ditanya kenapa pukul, tidak saya pukul hewan saya. Begitu. Cara pandang keliru itu yang harus diedukasi.

Cara mengedukasi itu siapa yang paling berperan di sini? Saya kira kalau itu lahir dari konteks adat maka lembaga adat, tokoh adat harus bisa membicarakan itu secara kontinyu, tidak saja dalam konteks acara adat, perkawinan dan lain-lain.

Itu bisa dibicarakan tetapi karena kita lahir, hidup dan punya kebutuhan hidup secara komunal melestarikan interaksi sosial di dalam adat dan budaya maka saya kira itu sudah harus dibicarakan dari tingkat sekolah, masuk dalam kurikulum juga bicara tentang belis jadi anak itu dari kecil sudah tercerahkan jadi dia tidak lagi membully, melakukan kekerasan terhadap calon pasangannya ketika menikah karena dia punya pemahaman yang baik jadi ada edukasi yang kontinyu. 

Lembaga-lembaga adat harus dihidupkan, kalaupun sudah ada, harus membicarakan ini sehingga jangan sampai maksud yang mulia dari belis ini tergerus hilang.

Orang punya pilihan untuk tidak menggunakan mekanisme ini. Itu fakta. Banyak kok orang NTT yang menikah tanpa menggunakan belis karena merasa ribet.

Nah kalau kita mau lestarikan budaya ini kan baik sebenarnya tapi belis itu tidak identik dengan material saja tetapi ada nilai-nilai komunal, nilai-nilai persaudaraan, merawat kekeluargaan, merawat juga kemampuan sosial kita sebagai masyarakat untuk beradaptasi satu dengan yang lain, seperti itu jadi jangan sampai kita salah memandang kemudian mengklaim bahwa ini betul-betul sesuatu yang negatif, tidak. Makanya tadi saya bilang ini pilihan. 


N : Kak Emi, kurikulum lokal untuk menerapkan nilai-nilai itu agar ada anti kekerasan terhadap perempuan apakah bisa diterapkan di NTT? 


E : Saya setuju. Dari kurikulum lokal itu kan kita mulai dari tingkatan yang paling bawah, SD-SMP dan kewenangan itu ada di teman-teman di kabupaten/kota.

Saya diskusi dengan beberapa kepala daerah maupun teman-teman DPR, mulok ini kita butuhkan.

Kalau hari ini kita bicara belis yang bisa dimasukkan, saya kemarin bicara tentang bahasa yang kita masukkan sebagai muatan lokal untuk anak-anak di setiap daerah. Mungkin kita berbeda, namanya kita diskusi. Harus diluruskan bahwa belis itu bukan kekerasan terhadap perempuan. Berpotensi kekerasan terhadap perempuan, ya, supaya kita tidak bias.

Karena ada juga yang tidak belis tapi orang Kupang bilang tiap hari dia papoko dia pu bini. Sehingga yang kita mau diskusikan tentang belis ini adalah sebuah nilai yang kita anggap sebagai bagian dari sebuah budaya yang kita atur. 

Materinya bisa kita diskusikan. Saya sepakat kalau misalnya di setiap daerah ada kelompok adat mendiskusikan ini karena ketika kita masukkan dalam perda, aturan-aturan, itu kan kita mesti secara rinci berapa nilainya karena belis itu ada nilainya, kerbau lima ekor kah, dan harus dicatat juga.

Halaman
1234

Berita Terkini