Opini

Opini: Melawan Narsisme, Peran Ziarah Rohani dalam Membentuk Imam yang Melayani

Editor: Dion DB Putra
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Para frater tingkat lima di Seminari Tinggi Interdiosesan Santu Petrus Ritapiret Maumere, Flores - NTT.

Oleh: Febrian M Angsemin
Mahasiswa Prodi Teologi, Tinggal di Seminari Tinggi Ritapiret-Maumere

POS-KUPANG.COM - Ziarah rohani merupakan praktik yang kaya akan makna dalam tradisi Gereja Katolik. 

Lebih dari sekadar bentuk devosi pribadi, ziarah adalah jendela untuk mencapai kedalaman spiritual yang lebih bermakna. 

Dalam konteks pembinaan calon imam, ziarah tidak sekadar ritual keagamaan, melainkan menjadi alat penting dalam pembentukan karakter, komitmen, dan iman para calon pemimpin spiritual Gereja.

Bagi para frater tingkat lima di Seminari Tinggi Interdiosesan Santu Petrus Ritapiret, ziarah ke Watu Bala, Maumere pada 19 Oktober 2024 menjadi momen yang sangat krusial dalam perjalanan formasi mereka. 

Ziarah ini lebih dari sekadar kesempatan untuk berdoa; ia menjadi wahana untuk melakukan refleksi mendalam atas panggilan hidup mereka sebagai calon imam.

Pendekatan ini sejalan dengan ajaran Konsili Vatikan II, yang menegaskan bahwa pembinaan calon imam harus mencakup beragam dimensi spiritual, intelektual, moral, dan pastoral.

Dalam konteks ini, ziarah tidak hanya memperkuat hubungan spiritual frater dengan Tuhan, tetapi juga mempersiapkan mereka menghadapi tantangan pelayanan yang kompleks di masa depan. 

Oleh karena itu, ziarah menjadi landasan yang kokoh dalam membangun fondasi iman dan dedikasi mereka sebagai pemimpin Gereja di masa mendatang.

Ziarah Sebagai Wahana Pengakuan Spiritual yang Mengubah Hidup

Dalam renungan Frater Risen Ronaldo atas Injil Lukas 12:8-12, ditegaskan bahwa pengakuan akan Yesus Kristus tidak bisa hanya sebatas kata-kata. 

Pengakuan yang sejati harus bersifat transformatif sebuah pengakuan spiritual yang sungguh-sungguh tertanam dalam kehidupan sehari-hari, melibatkan seluruh jiwa dalam pelayanan kepada Kristus. 

Ini sangat relevan bagi para frater tingkat lima Seminari Tinggi Interdiosesan Santu Petrus Ritapiret dalam ziarah mereka ke Watu Bala, Maumere. 

Ziarah ini bukan sekadar ritual keagamaan, melainkan perwujudan dari iman yang mendalam. 

Di sini, mereka diundang untuk merefleksikan panggilan hidup sebagai calon imam dan memperbarui komitmen mereka kepada Tuhan.

Seperti yang ditekankan dalam Lumen Gentium, Gereja menegaskan pentingnya pembentukan kesucian pribadi bagi para calon imam. 

Kesucian inilah yang menjadi landasan bagi segala bentuk pelayanan yang akan mereka emban di masa depan. 

Pengakuan yang transformatif, sebagaimana digambarkan dalam Injil Lukas, bukan hanya soal keyakinan, melainkan pengakuan yang mengubah hidup secara radikal, menjadikan Kristus pusat dari seluruh eksistensi. 

Ziarah ini menjadi momen refleksi mendalam bagi para frater, di mana mereka diajak menyelaraskan hidup mereka dengan teladan Yesus Kristus, yang memanggil mereka untuk menjadi gembala umat-Nya.

Tak hanya itu, ziarah ini juga memiliki dimensi devosional yang kuat. Doa Rosario di Gua Maria menjadi bagian integral dalam pembentukan spiritual mereka. 

Maria, yang dengan sepenuh hati dan ketaatan menerima kehendak Allah, menjadi panutan bagi para frater dalam menjalani panggilan hidup mereka. 

Seperti yang ditegaskan dalam Sacrosanctum Concilium, liturgi dan devosi pribadi tidak hanya memperkaya iman, tetapi juga memperkuat panggilan untuk melayani Allah dan sesama. 

Pengakuan spiritual yang transformatif ini menuntut para frater untuk meneladani ketaatan Maria dan sepenuhnya bersandar pada bimbingan Roh Kudus, yang dalam Injil Lukas digambarkan sebagai sumber kekuatan dalam menghadapi tantangan hidup dan pelayanan.

Ziarah Sebagai Persiapan Menghadapi Tantangan Pastoral di Era Modern

Ziarah rohani bukan hanya soal memperdalam dimensi spiritual, tetapi juga menjadi langkah strategis dalam mempersiapkan para frater menghadapi tantangan pastoral yang semakin rumit di dunia modern. 

Konsili Vatikan II, melalui Optatam Totius, menegaskan bahwa formasi pastoral harus mampu membekali calon imam untuk menghadapi beragam realitas sosial, moral, dan budaya yang akan mereka jumpai dalam pelayanan. 

Ziarah ke Watu Bala memberi ruang refleksi bagi para frater untuk merenungi tantangan-tantangan ini, sekaligus memohon rahmat Tuhan agar mereka diberi kekuatan, kesabaran, dan kebijaksanaan dalam
menjalankan misi pastoral mereka.

Dalam renungannya, Frater Risen Ronaldo mengangkat tantangan budaya modern, khususnya narsisme, di mana banyak orang terjebak dalam pencarian pengakuan diri dan menjadikan diri sebagai pusat segalanya. 

Ini adalah tantangan nyata yang juga akan dihadapi para imam dalam pelayanan mereka. 

Pengakuan yang transformatif, sebagaimana ditekankan dalam renungan ini, menuntut para frater untuk melawan arus narsisme dan mengarahkan hidup serta pelayanan mereka sepenuhnya kepada Tuhan dan sesama. 

Ziarah ini menjadi momen penting bagi para frater untuk merenungkan panggilan mereka sebagai calon imam, yang dipanggil bukan untuk mencari kemuliaan diri, tetapi untuk berkorban dan melayani umat Allah dengan penuh kasih.

Lebih dari itu, ziarah ini juga berfungsi sebagai sarana refleksi intelektual. 

Optatam Totius menekankan bahwa formasi calon imam harus mencakup pemahaman mendalam tentang ajaran moral Gereja. 

Hal ini penting agar para imam mampu memberikan bimbingan yang tepat dalam menghadapi persoalan hidup yang semakin kompleks. 

Ziarah ke Watu Bala menjadi kesempatan bagi para frater untuk memperdalam pemahaman mereka akan ajaran Gereja, sembari mempersiapkan diri untuk menjalankan tugas sebagai gembala yang penuh kasih dan kebijaksanaan.

Pengakuan yang transformatif dan didasari oleh kesadaran spiritual yang mendalam akan menjadi fondasi kokoh bagi para frater dalam menjalankan panggilan mereka. 

Dengan demikian, meskipun dihadapkan pada berbagai tantangan pastoral yang berat, mereka akan tetap setia pada panggilan untuk melayani Allah dan umat-Nya dengan ketulusan dan dedikasi penuh.

Penutup

Ziarah rohani, seperti yang dilaksanakan oleh para frater tingkat lima Seminari Tinggi Interdiosesan Santu Petrus Ritapiret ke Watu Bala, Maumere bukan sekadar ritual devosi, tetapi merupakan bagian integral dari proses formasi imamat yang menyeluruh. 

Ziarah ini memberikan kesempatan bagi para frater untuk memperdalam pengakuan mereka kepada Kristus dalam bentuk pengakuan transformatif yang bersifat spiritual pengakuan yang tidak hanya terucap melalui kata-kata, tetapi tercermin dalam kehidupan sehari-hari yang berakar
kuat pada Kristus.

Melalui perjalanan ini, para frater dipanggil untuk mempersiapkan diri dalam menghadapi tantangan pastoral yang semakin kompleks di dunia modern. 

Mereka diajak untuk merefleksikan tanggung jawab moral mereka sebagai calon imam, sekaligus memperdalam pemahaman mereka akan ajaran Gereja, sehingga mampu melayani umat Allah dengan sepenuh hati. 

Dalam pandangan saya, ziarah ini adalah salah satu cara paling efektif bagi calon imam untuk memperkuat iman mereka, memperdalam refleksi teologis, serta mempersiapkan diri untuk pelayanan yang menuntut pengorbanan.

Sejalan dengan ajaran Konsili Vatikan II yang menekankan pentingnya formasi menyeluruh bagi para calon imam, ziarah ini menjadi landasan penting dalam membentuk karakter, iman, dan komitmen pelayanan mereka. 

Oleh karena itu, ziarah rohani bukan sekadar perjalanan fisik menuju tempat suci, tetapi simbol perjalanan iman yang lebih dalam, sebuah Langkah menuju Allah sumber segala kekuatan dan penghiburan dalam panggilan seorang imam dan calon imam. (*)

Berita Terkini