Seperti yang ditekankan dalam Lumen Gentium, Gereja menegaskan pentingnya pembentukan kesucian pribadi bagi para calon imam.
Kesucian inilah yang menjadi landasan bagi segala bentuk pelayanan yang akan mereka emban di masa depan.
Pengakuan yang transformatif, sebagaimana digambarkan dalam Injil Lukas, bukan hanya soal keyakinan, melainkan pengakuan yang mengubah hidup secara radikal, menjadikan Kristus pusat dari seluruh eksistensi.
Ziarah ini menjadi momen refleksi mendalam bagi para frater, di mana mereka diajak menyelaraskan hidup mereka dengan teladan Yesus Kristus, yang memanggil mereka untuk menjadi gembala umat-Nya.
Tak hanya itu, ziarah ini juga memiliki dimensi devosional yang kuat. Doa Rosario di Gua Maria menjadi bagian integral dalam pembentukan spiritual mereka.
Maria, yang dengan sepenuh hati dan ketaatan menerima kehendak Allah, menjadi panutan bagi para frater dalam menjalani panggilan hidup mereka.
Seperti yang ditegaskan dalam Sacrosanctum Concilium, liturgi dan devosi pribadi tidak hanya memperkaya iman, tetapi juga memperkuat panggilan untuk melayani Allah dan sesama.
Pengakuan spiritual yang transformatif ini menuntut para frater untuk meneladani ketaatan Maria dan sepenuhnya bersandar pada bimbingan Roh Kudus, yang dalam Injil Lukas digambarkan sebagai sumber kekuatan dalam menghadapi tantangan hidup dan pelayanan.
Ziarah Sebagai Persiapan Menghadapi Tantangan Pastoral di Era Modern
Ziarah rohani bukan hanya soal memperdalam dimensi spiritual, tetapi juga menjadi langkah strategis dalam mempersiapkan para frater menghadapi tantangan pastoral yang semakin rumit di dunia modern.
Konsili Vatikan II, melalui Optatam Totius, menegaskan bahwa formasi pastoral harus mampu membekali calon imam untuk menghadapi beragam realitas sosial, moral, dan budaya yang akan mereka jumpai dalam pelayanan.
Ziarah ke Watu Bala memberi ruang refleksi bagi para frater untuk merenungi tantangan-tantangan ini, sekaligus memohon rahmat Tuhan agar mereka diberi kekuatan, kesabaran, dan kebijaksanaan dalam
menjalankan misi pastoral mereka.
Dalam renungannya, Frater Risen Ronaldo mengangkat tantangan budaya modern, khususnya narsisme, di mana banyak orang terjebak dalam pencarian pengakuan diri dan menjadikan diri sebagai pusat segalanya.
Ini adalah tantangan nyata yang juga akan dihadapi para imam dalam pelayanan mereka.
Pengakuan yang transformatif, sebagaimana ditekankan dalam renungan ini, menuntut para frater untuk melawan arus narsisme dan mengarahkan hidup serta pelayanan mereka sepenuhnya kepada Tuhan dan sesama.