Oleh Marini Sari Dewi Seger
Dosen Administrasi Publik Universitas Nusa Cendana
POS-KUPANG.COM - Pemilihan kepala daerah (pilkada) serentak akan digelar beberapa saat lagi. Saat ini para calon kepala daerah telah memasuki masa kampanye sebagai usaha merebut hati pemilih.
Dalam masa kampanye ini segala logistik pasangan calon dikerahkan semaksimal mungkin demi mendulang suara di dalam bilik nanti.
Selain transaksi antara logistic dan suara dalam kampanye, diikuti pula dengan pengerahan para Aparatur Sipil Negara (ASN) sebagai bentuk soft campaign bagi masyarakat.
Dilansir dari halaman website Kompas.id tanggal 22 September 2024, Komisi Aparatur Sipil Negara (KASN) menerima setidaknya 417 laporan terkait dengan dugaan pelanggaran netralitas ASN.
Lalu bagaimanakah dengan Provinsi NTT? Dalam laporan Badan Pengawas Pemilihan pemilu (Banwaslu) terkait indeks kerawanan pemilu 2024, Provinsi NTT menduduki peringkat kelima sebagai provinsi dengan kerawanan tinggi netralitas birokrasi.
Soft campaign yang dilakukan para ASN ini berupa Kampanye/sosialisasi di media social sebesar 30 persen, mengadakan kegiatan yang mengarah pada keberpihakan salah satu calon/bakal calon sebasar 22,4 persen;
Melakukan foto Bersama calon/pasangan calon dengan mengikuti symbol Gerakan tangan/Gerakan yang mengindikasi keberpihakan sebesar 12,6 persen, menghadiri deklarasi pasangan bakal calon/calon peserta pemilu/pilkada sebesar 10,9 persen, melakukan pendekatan ke partai politik terkait pencalonan dirinya atau orang lain sebagai calon di pemilu/pilkada sebesar 5,6 persen.
Ketidaknetralan birokrasi akan semakin parah jika daerah tersebut terdapat petahana. Para ASN merasa ketakutan jika tidak ikut andil dalam perjuangan mendapat kembali kursi kepala daerah. Takut akan mutasi, takut pangkat/golongan yang ditahan yang pada intinya takut akan dipersulit.
Memang hal ini sulit karena fungsi para ASN ini adalah sebagai aparatur pemerintah dan pelayanan masyarakat.
Sebagai aparatur pemerintah, birokrasi berada di bawah pemerintah yang notabene adalah eksekutif, sedangan birokrasi juga sebagai pelayan masyarakat yang menuntut pelayanan yang adil dan profesional.
Pemilihan kepala daerah menjadi semakain rentan karena pesertanya dari beragam agama, suku, desa, serta garis keluarga yang memiliki keterikatan kuat dengan para ASN daerah, kerawanan ketidaknetralan semakin terpampang nyata di depan mata.
Birokrasi dan Politik
F.J.Goodnow dalam bukunya Politics and Administration yang dikutip oleh Inu Kencana Syafiie dalam bukunya Ilmu Administrasi Publik (2006:36), mencoba mengemukakan dua fungsi pokok pemerintah yang menurutnya amat berbeda, yakni politik dan administrasi.
Dalam penjelasannya dikatakan bahwa politik ialah melaksanakan kebijaksanaan atau melahirkan keinginan negara, sementara administrasi berhubungan dengan penyelenggaraan kebijakan kehendak negara.
Secara sederhana dapat dipahami bahwa politik dalam fungsinya adalah proses pembuatan kebijakan, sementara fungsi administrasi adalah pada tahapan implementasinya.
Jika kita melihat dari fungsi tersebut tertera secara jelas bagaimana profesionalitas antara politik dan administrasi berjalan masing-masing, namun jika kita melihat secara empiris politik selalu menjadi bayang-bayang administrasi ketika berjalan.
Hal ini dikarenakan jabatan admnistrasi yang diperoleh lebih banyak berasal kekuatan politik.
Kekuasaan tertinggi dalam pemerintahan yang notabene pimpinan adminitrasi adalah jabatan politik, sehingga tidak heran jika administrasi gampang goyang jika politik berubah.
Ketidaknetralan birokrasi menandakan bahwa birokrasi adalah subordinat politik, yang gampang diutak atik sesuai mood aktor politik. Padahal jika kita lihat sistem keprofesionalitas administrasi dan politik sangat jelas bahwa administrasi lebih unggul.
Proses rekruitmen dalam birokrasi membutuhkan kualifikasi yang kompetitif, sistem pengembangan karier yang lama hingga purna bakti yang artinya birokrasi jauh lebih paham landscape permasalahan di masyarakat.
Sedangkan coba lihat politik, baik dari segi rekruitmen yang cenderung transaksional dan sistem pengembangan karier yang periodik.
Kadang penulis merasa kasihan melihat pejabat birokrasi dipelototin hingga dimaki-maki oleh mereka yang notabene baru menguasai masyarakat selama 5 tahun.
Pemahaman birokrasi akan keadaan di masyarakat menjadi potensi unggul dimainkan dalam politik untuk mendulang suara.
Fenomena ini tentunya menjadi tantangan bagi setiap pemimpin di masing-masing jenjang kekuasaan untuk menjaga keseimbangan antara kekuasaan administratif dan kekuasaan politik.
Hal ini dikarenakan oleh pengalaman historis dengan kolonialisme atau zaman penjajahan. Kolonialisme di Indonesia meninggalkan pengaruh yang besar dalam hubungannya dengan politik dan administrasi pada tatanan pemerintahan yang dapat dilihat perkembangannya mulai dari Rezim Orde Lama, Orde Baru hingga Pasca Reformasi.
Kontrol Birokrasi di Era Keviralan Media Sosial untuk Netralitas
Bagaimana bisa penyakit birokrasi ini terus berulang dan semakin parah Ketika pemilu tiba. Perlu solusi yang serius dan tindak tegas untuk meminimalisir ketidaknetralan birokrasi ini.
Peran Lembaga-lembaga pengawas perlu dioptimalkan, baik internal dan eksternal. Bagi lingkup ASN sendiri Lembaga pengawas seperti Badan Kepegawaian Daerah hingga Inspektorat Daerah pun perlu unjuk gigi memberikan teguran bagi para ASN daerah.
Secara eksternal perlu dikontrol baik secara politik dalam hal ini melalui wakil rakyat daerah hingga secara hukum. Namun, penulis melihat kontrol publiklah yang paling mujarab.
Era keviralan di dunia digitalisasi perlu dioptimalkan masyarakat internet sebagai pengawasan kepada birokrat.
Tak perlu ragu untuk mendokumentasikan dan posting setiap pelanggaran yang ditemui. Nampaknya jalan ini menjadi jurus jitu ketakutan birokrat dalam bertindak serta birokrasi dalam membangun citra.
Lebih jauh dari itu memang sulit memisahkan antara politik dan birokrasi. Simbosis mutualisme kepentingan antar keduanya sangat erat.
Keterlibatan ASN dalam kegiatan politik praktis bukanlah tindakan sukarela sebagaimana ungkapan umum, dalam dunia politik yang menerangkan bahwa “tidak ada makan siang gratis”, maka selalu ada kepentingan yang diperjuangkan oleh masing-masing baik birokrasi dan politik. (*)