Opini

Opini: Femisida sebagai Puncak Kekerasan Dalam Rumah Tangga

Editor: Dion DB Putra
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Pendeta Emmy Sahertian, M.Th

Oleh: Pdt. Emr. Emmy Sahertian
Aktif di Komunitas Hanaf, Komunitas Perempuan Berdaya Bersama    

POS-KUPANG.COM - Publik Nusa Tenggara Timur ( NTT) digemparkan oleh peristiwa kekerasan dalam rumah tangga yang  berujung kematian dari Yosefina Maria Mei, Mama dari dua orang anak laki-laki. Ia meninggal Senin 12 Agustus 2024 lalu, di tangan Albert Solo, suaminya. 

Tulisan ini mengenang Mei, seorang perempuan yang mewakili posisi rentan perempuan yang alami Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT). Kematian akibat KDRT sebagai bentuk kekerasan berbasis gender dikenal sebagai femisida atau kematian karena identitas gender-nya. 

Perempuan cenderung menjadi obyek kekerasan dalam rumah tangga. Perempuan ‘seolah dibenarkan’ untuk dianiaya dalam wewenang suami. Ucapan suami untuk membenarkan tercermin dari kalimat ‘Jangan ikut campur ini urusan keluarga kami’. 

Ironisnya, posisi Mei tak hanya seorang rumah tangga, tetapi juga sebagai Aparatur Sipil Negara (ASN) yang memiliki karier gemilang. Ia mengalami KDRT berulang dari suaminya yang juga seorang ASN. 

Jika ASN bisa dianggap sebagai lapisan orang terdidik, bisa dibayangkan gunung es fenomena femisida yang sedang terjadi di NTT.  Kampanye untuk mengentaskan KDRT begitu gencar dilakukan dalam 30 tahun terakhir, tetapi hembusan kematian masih menyeruak di balik tembok di tanah kering ini.

KDRT sebagai ruang privat

Kekerasan berujung maut disinyalir bukan karena pengaruh minuman keras tetapi  puncak akumulasi dari serentetan kekerasan yang dialaminya. Kejadian yang menimpa Mei, hingga meninggal dilakukan oleh suaminya. 

Tetangga maupun teman-teman di kantornya bahkan beberapa keluarganya mengetahui bahwa ia mengalami  kekerasan oleh suaminya. Mereka tidak tahu bagaimana mencegahnya. Mei sebagai korban tidak ingin kekerasan diungkap demi dua anaknya.

Kekerasan dianggap terjadi dalam wilayah privat yang merupakan wilayah otoritas suaminya. Bahkan, pada saat kejadian tetangga pun diancam oleh suaminya untuk tidak ikut campur dalam persoalan tersebut. 

Bukan tidak mungkin ada banyak perempuan di NTT yang tetap memilih jalan senyap untuk bertahan. Bagi perempuan untuk menembus kesenyapan membutuhkan keberanian yang harus didukung oleh masyarakat, keluarga dan komunitas keagamaan setempat. 

Ketiga elemen ini diharapkan mempunyai perspektif keadilan atas anatomi kekerasan berbasis gender. 

Kekerasan sistemik yang berulang tampaknya merupakan kebiasaan para laki-laki. Dalam dirinya terjalin sikap agresivitas internal atau “ abusive behaviour ” berpadu dengan budaya patriarki yang kuat.  

Relasi kuasa menjadi kebiasaan dalam lingkup masyarakat patriarki. Lebih berbahaya lagi ketika kebiasaan buruk diperkokoh dengan doktrin agama tradisional bahwa posisi pasangan perempuan adalah kodrat subordinat sehingga harus “tunduk” kepada suami sebagai kepala dalam pernikahan.

Inilah yang disebut sebagai perspektif gender dalam konteks budaya patriarki. Dampaknya posisi perempuan dan anak-anaknya dianggap sebagai “hak milik” suami. 

Halaman
1234

Berita Terkini