Pemilu 2024

Mengevaluasi Perlunya Revisi UU Pemilu

Editor: Agustinus Sape
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Seorang WNI yang tinggal di luar negeri memberikan suaranya pada Pemilihan Umum di tempat pemungutan suara di World Trade Center, Kuala Lumpur, Malaysia, Sabtu 10 Maret 2024.

POS-KUPANG.COM, JAKARTA - Wacana revisi Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum muncul setelah Mahkamah Konstitusi (MK) memutus perselisihan hasil Pilpres 2024 pada 22 April tahun ini.

Dalam sidang tersebut, Hakim Agung Ridwan Mansyur menekankan perlunya perubahan paradigma netralitas kekuasaan eksekutif untuk mewujudkan pemilu yang jujur ​​dan adil, sebagaimana diamanatkan Pasal 22E ayat (1) UUD 1945.

Pasal tersebut dengan tegas menyatakan bahwa pemilu harus menjunjung tinggi asas langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil (luber jurdil).

Perubahan paradigma memerlukan revisi UU Pemilu.

Selain itu, pembatasan penggunaan atau pengaitan program pemerintah atau negara dengan kepentingan pribadi, terutama pada saat pemilu atau untuk kepentingan pemilu lainnya, perlu diatur sebelum pemilu atau pilkada berikutnya berlangsung.

Penyaluran bantuan sosial yang mendekati masa pemilu juga perlu diatur secara jelas, terutama terkait tata cara penyalurannya, yaitu waktu, tempat, dan pihak yang dapat menyalurkan bantuan tersebut.

Pengaturan tersebut dinilai penting agar penyaluran bansos tidak dianggap berpedoman pada kepentingan pemilu. Apalagi dana bansos bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN).

Regulasi dinilai penting untuk memastikan pemberian bansos – salah satu isu yang mengemuka dalam perselisihan hasil Pilpres 2024 – tidak membuat petahana atau pejabat publik mengelola APBD saat pilkada.

Menurut Ketua MK Suhartoyo, terdapat beberapa titik lemah dalam regulasi pemilu seperti UU Pemilu, Peraturan Komisi Pemilihan Umum (KPU), dan Peraturan Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu) yang mengikat tangan Bawaslu dari mengambil tindakan terhadap pelaksanaan pemilu.

UU Pemilu belum memiliki pengaturan mengenai kegiatan yang dapat dikategorikan sebagai kampanye yang dilakukan sebelum dan sesudah masa kampanye dimulai.

Ketiadaan aturan tersebut dapat memberikan peluang terjadinya pelanggaran pemilu tanpa menimbulkan tindakan hukum atau sanksi administratif. Oleh karena itu, penyempurnaan terhadap UU Pemilu terus dilakukan.

Penyempurnaan tersebut mencakup pengaturan yang lebih jelas mengenai pelanggaran administratif dan pidana dalam pemilu untuk mencegah ambiguitas.

Pembenahan juga dilakukan untuk menjaga netralitas penyelenggara negara, khususnya yang juga anggota partai politik dan peserta pemilu sebagai calon presiden, calon wakil presiden, anggota tim kampanye, dan penyelenggara kampanye.

Dengan demikian, kini ada aturan yang lebih jelas dan rinci bagi masyarakat yang ikut kampanye politik sekaligus menjalankan tugas negara agar kepentingannya tidak tumpang tindih.

Aturan tersebut diperlukan untuk mencegah penggunaan fasilitas negara untuk kepentingan kampanye politik atau penggunaan atribut kampanye politik dalam menjalankan tugas negara.

Mencegah konflik kepentingan

Menurut Guru Besar Ilmu Politik Universitas Andalas, Asrinaldi, revisi UU Pemilu harus mencakup proses pencalonan peserta pemilu untuk mencegah konflik kepentingan.

Selain itu, penguatan kewenangan Bawaslu juga dipandang perlu, terutama dalam proses penyelesaian permasalahan. Undang-undang juga perlu mengatur kedudukan presiden yang masa jabatan keduanya akan segera berakhir.

Sementara itu, Guru Besar Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara Muryanto Amin menyatakan revisi tersebut harus mencakup isu ketidaknetralan, politik populisme, dan manajemen pemilu secara lebih detail.

Para pembentuk undang-undang juga memandang perlu mempertimbangkan poin-poin yang disampaikan hakim MK agar revisi UU Pemilu bisa lebih komprehensif.

Pengamat politik dari Universitas Pembangunan Nasional Veteran Jakarta (UPNVJ), Ardli Johan Kusuma mengatakan, UU Pemilu perlu direvisi dalam rangka perubahan positif untuk mewujudkan kepastian hukum.

Penyempurnaan regulasi terkait pemilu, termasuk UU Pemilu, perlu terus diupayakan untuk menciptakan sistem pemilu yang ideal.

Namun yang terpenting adalah komitmen para elite untuk menjalankan dan menaati apa yang telah diatur dalam undang-undang.

Komitmen untuk menjunjung tinggi moral dan etika dalam menjalankan dan menaati hukum dinilai penting di tengah upaya penyempurnaan UU Pemilu.

Baca juga: Jokowi dan MK Sering Beda Pendapat, UU Pemilu dan Ciptaker Paling Banyak Digugat

Pengamat politik Universitas Padjadjaran Yusa Djuyandi mengatakan revisi UU Pemilu harus mengatur konsistensi persyaratan dan penetapan peserta pemilu.

Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) sebagai lembaga legislatif menyambut baik wacana revisi UU Pemilu. Salah satu legislator yang menyuarakan dukungan terhadap revisi tersebut adalah Wakil Ketua DPR Muhaimin Iskandar.

Menurut DPR, revisi peraturan pemilu diperlukan untuk mengatasi segala celah dalam UU Pemilu.

Wakil Ketua Komisi II DPR Ahmad Doli Kurnia pun menanggapi wacana penyempurnaan UU Pemilu.

Lembaga kepresidenan disebut masuk dalam kajian revisi UU Pemilu sebagai respons terhadap peran presiden dalam menyalurkan bansos yang disinyalir berdampak pada perolehan suara salah satu pasangan calon presiden dan wakil presiden. berpartisipasi dalam pemilihan presiden.

Dukungan terhadap revisi tersebut juga disuarakan oleh penyelenggara pemilu, seperti Kepala Divisi Hukum dan Pengawasan KPU, Mochammad Afifuddin.

Segala inisiatif dan masukan untuk penyempurnaan UU Pemilu terus didukung oleh penyelenggara pemilu.

Saat ini DPR sedang dalam masa reses. Sesi berikutnya diperkirakan akan dimulai pada 14 Mei 2024, sesuai situs resmi lembaga.

Dengan demikian, diharapkan pada saat masa sidang berikutnya dimulai, evaluasi dan revisi UU Pemilu sudah bisa dibahas dan diselesaikan.

(antaranews.com)

Ikuti berita POS-KUPANG.COM di GOOGLE NEWS

Berita Terkini