”Kami juga meminta ada pemilihan suara ulang di beberapa daerah di Papua, terutama yang menggunakan sistem noken,” katanya.
Sejak berdiri pada 1973, PPP tidak pernah absen mendudukkan para kadernya di kursi DPR. Pada pemilu pertamanya tahun 1977, PPP meraih 18,74 juta atau 29,29 persen dari suara sah nasional.
Dengan raihan suara itu, PPP menguasai 99 atau 27,12 persen kursi DPR. Raihan itu menempatkan PPP sebagai pemenang kedua pemilu setelah Golongan Karya (sekarang Partai Golkar). Posisi PPP sebagai pemenang kedua bertahan hingga pemilu terakhir sebelum Orde Baru tumbang pada tahun 1997.
Namun, sejak Orde Baru tumbang, perolehan suara PPP terus menurun. Dimulai dari Pemilu 1999, perolehan suara PPP 10,7 persen dan menjadi 8,15 persen pada Pemilu 2004.
Bahkan, pada Pemilu 2009, perolehan suara PPP turun lagi menjadi 5,32 persen. Perolehan suara PPP naik tipis pada Pemilu 2014 dengan 6,53 persen, tetapi kembali turun menjadi 4,52 persen pada Pemilu 2019.
Di tengah ancaman PPP yang akan terdegradasi menjadi parpol nonparlemen, hakim MK yang juga mantan politikus PPP, Arsul Sani, tidak akan ikut menangani perkara PHPU yang diajukan PPP. Mantan Wakil Ketua Umum PPP itu menggunakan hak ingkar sehingga tidak akan menjadi bagian dari panel yang mengadili semua perkara yang diajukan PPP.
Peneliti Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Fadli Ramadhanil mengatakan, gugatan ke MK menjadi pertarungan terakhir bagi parpol, capres-cawapres, dan caleg untuk mendapatkan keadilan. Ketidakpuasan atas hasil pemilu yang ditetapkan KPU dapat berubah jika gugatan dikabulkan MK.
Menurut Fadli, PHPU pada Pemilu 2024 menjadi sangat penting, terutama bagi PPP yang berjuang lolos ambang batas parlemen. Sebab, MK menjadi jalan terakhir untuk mencegah potensi degradasi yang bisa mengakibatkan PPP terlempar dari Senayan.
”Sangat mungkin PPP akan melihat lagi dapil-dapil yang potensial digugat ke MK dan bisa menambah perolehan suara serta kursi,” ujarnya.
Di sisi lain, lanjut Fadli, MK juga menjadi pertaruhan terakhir bagi caleg-caleg yang merasa dirugikan atas penghitungan dan rekapitulasi suara berjenjang. Sebab, saat rekapitulasi, banyak keberatan dari saksi yang merasa suaranya berkurang. Bahkan saat mengajukan sengketa administrasi di Bawaslu, sebagian putusan tidak bisa dijalankan karena tenggat rekapitulasi yang terbatas.
Namun, pertarungan di MK tidaklah mudah. PPP harus bisa membuktikan setiap dalil yang disampaikan ke MK. PPP harus memberikan melalui alat bukti yang kuat dan mampu meyakinkan hakim MK agar mengabulkan gugatan mereka.
”Setiap dalil akan bermuara pada koreksi perolehan suara. Makanya PPP harus menyiapkan alat bukti, baik bukti-bukti maupun saksi yang relevan, untuk memperkuat dalil yang diajukan,” kata Fadli.
(kompas.id)
Ikuti berita POS-KUPANG.COM di GOOGLE NEWS