Vero Ule menjelaskan, tahapan Reba diawali dengan pembersihan tempat acara. Kemudian dilanjutkan dengan acara memercik tanaman dengan air kelapa muda dengan maksud tanaman bisa tumbuh subur.
Adapun miniatur rumah adat yang dibangun di tengah kampung. Biasanya tiap kampung ada sepasang rumah adat sebagi simbol laki-laki dan perempuan. Tiap kampung juga akan memiliki banyak rumah adat berpasangan, mengikut jumlah suku yang mendiami kampung itu.
"Jadi kalau ada pasangan itu ada berapa, itu menunjukkan dalam kampung itu ada berapa suku. Jadi kalau Ngadu dan Paga ada tiga, berati dalam kampung itu ada suku," kata dia.
Setalah dibangun Ngadu dan Paga itu, malamnya akan digelar malam berkumpul keluarga atau masyarakat dan merayakannya di dalam rumah adat. Sao atau rumah yang didalamnya punya banyak keturunan.
Pada malam itu, ibu-ibu akan merayakan di Sao dan laki-laki akan merayakan di rumah adat keturunan ibunya. Dia menegaskan, Siliana Wunga merupakan tokoh yang bagus.
Sebab, upaya leluhur itulah yang membuat warga Ngada hingga kini masih terus berkumpul meskipun hanya satu kali dalam satu tahun. Kebersamaan itu semata sebagai bentuk refleksi bersama.
"Reba itu harusnya kembali ke kampung. Karena kita di Kupang tidak kembali ke kampung maka kita hanya lakukan syukuran. Kita bersyukur saja bahwa kita punya budaya Reba, yang mengumpulkan banyak orang sebagai refleksi bersama," kata dia.
Biasanya Reba mulai dilakukan sejak akhir Desember dan dilanjutkan hingga bulan Maret atau Reba Loga. Setelah itu tidak boleh ada lagi perayaan Reba. Vero Ule berpesan agar generasi Ngada di mana saja untuk pulang kampung merayakan Reba bila ada kesempatan.
"Saya menyarankan agar saat perayaan Reba di kampung, kembali. Supaya tahu rumah adatnya, keturunannya," tegasnya. (fan)
Ikuti berita POS-KUPANG.COM lainnya di GOOGLE NEWS