Berita Timor Leste

Mengenal Sosok Tatang Koswara Sniper Andalan TNI yang Dijuluki Malaikat Maut Fretilin Timor Leste

Editor: maria anitoda
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Tatang Koswara semasa muda- Tatang Koswara menjadi salah satu sniper yang diterjunkan TNI dalam Operasi Seroja bahkan disebut sebagai malaikat maut bagi Fretilin, milisi Timor Leste.

POS-KUPANG.COM- Operasi Seroja bisa dibilang adalah panggungnya Tatang Koswara, sniper andalan TNI kala itu.

Dia disebut sebagai malaikat maut bagi Fretilin, milisi Timor Leste.

Setidaknya ada 40 anggota Fretilin yang tewas karena tembakan jitunya.

Operasi Seroja sendiri "memaksa" Timor Leste menjadi provinsi ke-27 Indonesia, dengan nama Timor Timur.

Baca juga: Menteri Penny Wong Sebut Australia dan Timor Leste Bisa Bangun Masa Depan Bersama

Mengutip majalah Commando Edisi No.4 tahun 2014, Tatang Koswara menjadi salah satu sniper yang diterjunkan TNI dalam Operasi Seroja.

Tatang yang baru saja mendapat pelatihan sniper dari Green Beret US Army langsung dilibatkan dalam Komando Satgas Pamungkas untuk mendukung serbuan Indonesia ke Timor Timur.

Pria asal Cibaduyut, Bandung, Jawa Barat, itu bahkan diikutsertakan dalam satuan Kopassandha (Kopassus) lantaran saat itu Korps Baret Merah kekurangan sniper.

"Jadi karena TNI AD, lewat Pak Edi Sudrajat, tahu kemampuan saya sebagai sniper lalu saya disuruh bergabung dengan para sniper Kopassandha," kata Tatang.

"Namun di belakang hari gara-gara bertempur sebagai sniper dan bergabung dengan Kopassandha saya dikira juga anggota Kopassus. Padahal satuan saya tetap di Pussenif," lanjutnya.

Baca juga: Timor Leste untuk Pertama Kalinya Ikut Pertemuan Para Menlu ASEAN di Jakarta 

Tahun 1977 Tatang mendapat penugasan cukup berat di Timtim.

Gerilyawan Fretilin yang merupakan lawan TNI ternyata jago berperang dan memiliki persenjataan lumayan baik.

Pada 15 Mei 1977 dalam pertempuran yang berlangsung di Lalua dan Lobugob, TNI kehilangan lebih dari 100 prajurit yang gugur di medan pertempuran.

"Pada saat pasukan ABRI mengalami kerugian besar karena yang gugur mencapai ratusan dalam satu hari, sebenarnya sudah ada sniper tapi peran mereka bertugas sebatas melindungi pasukan," kata Tatang.

"Padahal cara bertempur sniper yang pernah saya pelajari, ia harus masuk jauh ke wilayah musuh untuk menciptakan kekacauan dan sekaligus melemahkan semangat bertempur musuh," papar Tatang.

Pada akhir 1977, Tatang ditugaskan di kawasan Bobonaro, Becila, Aileu, Dili, Remexio dan lainnya.

Di semua daerah itu Tatang bertempur mati-matian melawan Fretilin.

Pernah dalam suatu misi Tatang ditemani oleh seorang prajurit muda lulusan Akmil bernama Ginting.

Ginting masih amat hijau di medan perang, ia bersenjatakan senapan M16, berseragam loreng lengkap layaknya tentara.

Sedangkan Tatang mengenakan gears sniper dengan ghillie suit sehingga akan nge-blend dengan vegetasi sekitar.

Keduanya lantas mengendap-endap masuk ke wilayah musuh.

Pada malam tiba masih saja terus bergerak dengan bantuan teleskop malam.

"Karena pengawal saya seorang perwira jadi saya juga harus hargai dia. Lalu saya tanya sebaiknya di mana kita akan mengendap sehingga lokasi dan posisinya sulit diketahui musuh," jelas Tatang.

"Secara teori Ginting menyarankan saya untuk mengendap di ketinggian sehingga bisa mengincar dan melumpuhkan musuh. Tapi saran itu langsung saya tolak karena terlalu berbahaya," sahut Tatang.

Tatang kemudian mengajak Ginting memilih persembunyian di pinggir tebing curam yang sangat tersembunyi sehingga tak akan diketahui musuh.

Benar saja, esok harinya posisi ketinggian yang sebelumnya disarankan Ginting disisir oleh patroli musuh yang jumlahnya puluhan, terkejut Tatang mendapati lawan yang begitu banyak.

Tak selang berapa lama gerilyawan Fretilin itu berkumpul untuk melancarkan penyerbuan ke posisi pasukan TNI.

Padahal jarak Tatang dan Ginting hanya sekitar 50 meter dari pasukan musuh itu.

Namun tetap Tatang akan melakukan tindakan menghambat atau bahkan memukul mundur gerilyawan Fretilin berapapun jumlahnya.

Tatang lantas mengontak Edi Sudrajat agar pasukan TNI yang berpatroli di sekitar situ melakukan serangan dadakan kepada Fretilin sehingga akan memecah konsentrasi lawan.

Tak berapa lama tembakan gencar menyalak menghujani gerilyawan Fretilin yang berasal dari patroli TNI.

Tatang lantas memasang peredam suara pada moncong senapan Winchester Model 70-nya.

Seperti malaikat pencabut nyawa, dengan tenang Tatang membidik sasaran dan menekan pelatuk dengan cekatan.

Tembakan Tatang semuanya menghantam kepala musuh, satu persatu gerilyawan Fretilin yang berada di jarak 300-600 meter dari posisi Tatang menembak tumbang.

Hal ini membuat musuh panik bukan kepalang lantaran mereka bingung ada tembakan jitu namun tak tahu dari mana asalnya.

Sontak Fretilin melepaskan tembakan ngawur ke sana-ke mari tanpa sekali pun menyasar tempat Tatang dan Ginting bersembunyi.

Fretilin langsung kabur meninggalkan medan pertempuran, misi itu sukses dilaksanakan Tatang.

Dari 50 butir peluru yang Tatang bawa, hanya tersisa satu, 49 lainnya sudah ditembakkan ke musuh.

Ginting yang menyaksikan Tatang 'mencabuti' nyawa Fretilin sampai terperangah, ia secara sembunyi-sembunyi mencatat jumlah kill yang dibukukan sniper legendaris Indonesia itu.

SEJARAH OPERASI SEROJA TIMOR LESTE

Invasi Indonesia ke Timor Timur, lebih dikenal sebagai Operasi Seroja, dimulai pada tanggal 7 Desember 1975 ketika militer Indonesia masuk ke Timor Timur dengan dalih anti-kolonialisme dan anti-komunisme untuk menggulingkan rezim Fretilin yang muncul pada tahun 1974.

Penggulingan pemerintah yang dipimpin secara singkat oleh Fretilin memicu pendudukan kekerasan selama seperempat abad di mana sekitar 100.000–180.000 tentara dan warga sipil diperkirakan telah terbunuh atau mati kelaparan.

Komisi Pengakuan, Kebenaran, dan Rekonsiliasi di Timor Leste (CAVR) mendokumentasikan perkiraan minimum sebesar 102.000 kematian terkait konflik di Timor Timur selama periode 1974 hingga 1999, termasuk 18.600 pembunuhan dengan kekerasan dan 84.200 kematian akibat penyakit dan kelaparan.

Pasukan Indonesia dan gabungan pasukan pembantunya bertanggung jawab atas 70 persen dari total pembunuhan.

Bulan-bulan pertama pendudukan, militer Indonesia menghadapi perlawanan pemberontakan yang berat di pedalaman pegunungan pulau, tetapi dari tahun 1977-1978, militer memperoleh persenjataan canggih baru dari Amerika Serikat, Australia, dan negara-negara lain, untuk menghancurkan basis Fretilin.

Dua dekade terakhir abad ini menyaksikan bentrokan terus menerus antara kelompok Indonesia dan Timor Timur mengenai status Timor Timur, sampai tahun 1999, ketika mayoritas rakyat Timor Timur memilih untuk merdeka (pilihan alternatifnya adalah "otonomi khusus" sementara tetap menjadi bagian dari Indonesia).

Setelah dua setengah tahun transisi lebih lanjut di bawah naungan tiga misi PBB yang berbeda, Timor Timur berhasil merdeka pada 20 Mei 2002.

BACA BERITA TERBARU POS-KUPANG.COM di GOOGLE NEWS

Berita Terkini