Laporan Reporter POS-KUPANG.COM, Christin Malehere
POS-KUPANG.COM, KUPANG - Pengamat Politik Unwira Kupang, Mikael Rajamuda Bataona menilai secara hukum, tindakan Kubu Moeldoko punya pertimbangan dan argumentasi hukum tertentu.
Tetapi saya justru membacanya dari epistemologi politik bahwa upaya Hukum ini sekaligus sebagai sebuah tindakan politik.
Karena motifnya jelas politis yaitu untuk perebutan kekuasaan.
Baca juga: Polda NTT Terjunkan 108 Personel Dukung Pengamanan Perayaan Paskah di Kota Kupang
Jadi meskipun ini sebuah proses hukum, tetapi hukum hanyalah gimic yang dipakai di permukaan untuk menutupi desain besar perebutan kekuasaan partai Demokrat sebagai sebuah institusi partai.
Karena itu, apa yang dilakukan Moeldoko cs, jika dibaca secara lebih cermat, bisa memberi dua dampak yang sama-sama kuat.
Dua dampak ini secara hipotetik mempunyai kemungkinan untuk terjadi dan menjadi benar pada tataran praksis politik di lapangan.
Pertama, tindakan Moeldoko cs berupa Peninjauan Kembali dapat memberikan efek ketidakpastian kepemimpinan, menggoyahkan spirit dan loyalitas kader partai Demokrat, juga menempatkan kepemimpinan AHY dalam posisi ketidakpastian.
Artinya, upaya hukum Moeldoko ini akan memberi dampak pada kader, dan para pemimpin Demokrat di segala level. Kader misalnya bisa saja mengalami guncangan psikologis sehingga kerja-kerja politik di level provinsi, kabupaten hingga desa akan sangat terganggu.
Tetapi kemungkinan Kedua, juga berpeluang untuk menjadi benar adalah Upaya hukum berupa Peninjauan Kembali, Moeldoko justru memberi dampak sebaliknya berupa menguatkan, membangkitkan spirit pantang menyerah, spirit persatuan dan rasa memiliki partai sebagai rumah perjuangan bersama, bahkan solidaritas psikologis sebagai bagian dari partai Demokrat yang sedang menghadapi badai serangan dari Moeldoko.
Baca juga: Atasi Masalah Suplai Listrik di Flores, Wagub NTT Dukung Pengembangan PLTP Ulumbu
Kemungkinan ini yang tidak dihitung secara cermat oleh Moeldoko cs. Apalagi, momentum Peninjauan Kembali tersebut berdekatan dengan hiruk-pikuk Pilpres di mana AHY dan Demokrat justru bisa mengkapitalisasi isu ini menjadi kekuatan untuk menyerang balik dan mendapat simpati luas dari publik.
Apalagi harus dipahami bahwa, ketika sebuah organisasi partai diserang dari luar, entah lewat hukum maupun lewat politik, serangan itu bisa secara otomatis membangkitkan solidaritas epistemologis dan solidaritas psikologis.
Di mana dalam kasus ini, saya melihatnya demikian bahwa gugatan Moeldoko ini membenarkan hipotesis yg kedua karena pada hari ini, yang terjadi adalah secara serentak di seluruh propinsi dan kabupaten/kota yaitu di 520 kabupaten/kota di seluruh Indonesia, para Kader dan Simpatisan Demokrat mendatangi pengadilan negeri untuk mengajukan protes damai, dan mengirim surat kepada Mahkamah Agung melalui kantor pengadilan negeri, di mana tembusannya juga diberikan kepada Presiden Joko Widodo (Jokowi) dan Menkopolhukam, Mahfud MD.
Baca juga: Atasi Masalah Suplai Listrik di Flores, Wagub NTT Dukung Pengembangan PLTP Ulumbu
Ini menjelaskan kebenaran teori bahwa ketika ada musuh dari luar, sebuah entitas sosial atau organisasi cenderung untuk memproteksi diri dan bersatu secara ke dalam atau melakukan konsolidasi internal yang justru menguatkan entitas tersebut.
Inilah yang saya kira tidak diperhitungkan oleh Moeldoko. Karena dalam kasus ini, secara langsung, Moeldoko telah memicu dan membangkitkan rasa solidaritas, rasa memiliki para kader partai sehingga mereka hari ini bangkit bersama dan berjuang bersama demi mempertahankan eksistensi partai Demokrat.