Dikatakannya, jika NasDem betul berkoalisi dengan dua partai oposisi, Partai Keadilan Sejahtera (PKS) dan Partai Demokrat, maka logika politik menjadi tidak nyambung.
"Logikanya memang menjadi tidak nyambung," ujar Toto.
Kata analis demokrasi ini, ada perbedaan cara pandang. Perbedaan koalisi pemerintahan dan opsisi sudah jelas.
"Oposisi tidak setuju dengan pola pikir dan cara memimpin rezim sekarang," kata dia.
Yunarto menyebutkan, hal menariknya adalah ketika NasDem sudah gabung dengan PKS - Demokrat, maka apakah perlu NasDem masih berkoalisi dengan pemerintahan Jokowi?
"Tapi hal-hal yang di belakang panggung, rasanya sulit kita tafsirkan. Hanya Jokowi dan Surya Paloh yang bisa menjawabnya," ujar dia.
Kader PDIP Deddy Sitorus mengatakan, jika Nasdem berkoalisi dengan PKS - Demokrat dan mengusung figur capres yang berseberangan pemikiran dengan pemerintahan, maka pasti ada ketegangan.
"Itu hal biasa dalam dinamika politik. Anies sejak awal berposisi sebagai diametral dengan pak Jokowi," ujarnya.
Mau tidak mau, lanjut Deddy Sitorus, Nasdem akan terseret dalam situasi tersebut. Kalau sudah begitu, maka NasDem akan berada dalam situasi tersulit.
Sementara itu, Ketua DPP Partai NasDem, Sugeng Suparwoto menegaskan, Jokowi tetap menjadi presiden dari Partai Nasdem.
Baca juga: Airlangga Hartarto Tak Terpengaruh Langkah Surya Paloh Deklarasikan Anies Baswedan
"Soal itu (Anies presiden) nanti ke depan. Terima kasih atas masukannya," kata Sugeng menanggapi Yunarto.
Analis dari Charta Politika itu sebelumnya memberikan catatan kritis kepada Nasdem dan Jokowi dalam menjaga hubungan baik.
Toto mengatakan, Nasdem perlu hati-hati dalam upaya sosialisasi Anies. Misalnya menyebut 'Anies presiden'. Ungkapan itu tak baik, karena Jokowi masih berkuasa.
Sebaliknya bagi Jokowi, tidak perlu terlalu sering main gimik politik. "Kalau mau jadi king maker, fokus saja kerja untuk menjaga tingkat kepuasan di ujung pemerintahannya," ujar Toto. (*)
Ikuti Pos-Kupang.Com di GOOGLE NEWS