Dengan demikian para mahasiswa dan pelajar termasuk anak muda yang terlibat dalam kegiatan ini menjadi aktor-aktor yang mempromosikan kekayaan alam dan budaya Nagekeo kepada semua orang di luar Provinsi NTT.
Seminar yang dibuka oleh Sekda Nagekeo, Bapak Drs.Lukas Mere ini, dihadiri oleh semua mahasiswa inbound, Kadis P dan K Nagekeo, Kadis Pariwisata Nagekeo, Camat Aesesa bersama staf, staf dari Pemda Nagekeo, dan Tokoh Masyarakat Tutubhada.
Baca juga: Rektor Unwira Kupang Pater Philipus Tule SVD Ungkap Peran Orangtua Dalam Kemajuan Kampus
Dalam sambutan pembukaannya Bapak Sekda menyampaikan bahwa sebagai jantungnya pulau flores, the heart of Flores, Nagekeo merupakan pusat pertemuan kebudayaan Melanesia dan Melayu.
Pembicara pertama, Kepala Dinas Pendidikan Nagekeo, Bapak Venantius Minggu, M.Pd. memberi gambaran tentang corak utama dan keragaman budaya Nagekeo.
“Corak utama budaya Nagekeo itu biasa dilihat dari ekpresi budaya lisan, seperti Sa bhea, tii ka pati inu vedhi, melo etu; dalam bentuk tarian seperti tea eku, sa ha, iki mea ; dalam bentuk music tradisional seperti ndoto, benghu, saito, gong gendang, veko, voi, seruling dan kulintang; dan dalam bentuk permainan rakyat seperti etu, mbela, sudu, sadhi asdu, pati ndalu, shidhi deke, reo jara, dan lain-lain. Semua corak kebudayaan ini merupakan hasil perjumpaan kebudayaan-kebudayaan dari luar seperti kebudayaan Melanesia dan Melayu di Nagekeo,” unagkapnya.
Pernyataan terkait perjumpaan berbagai budaya dan agama di Nagekeo kembali ditandaskan oleh Ketua MUI Kabupaten Nagekeo, Lutfi Daeng Maro.
Baca juga: Rektor Unwira Kupang Pater Philipus Tule SVD Ungkap Peran Orangtua Dalam Kemajuan Kampus
Dalam sajian materinya beliau menyampaikan bahwa Budaya Nagekeo mempunyai posisi istimewa dalam perspektif Islam karena dalam banyak hal sejalan dengan keislaman yang dianut oleh minoritas masyarakat Nagekeo.
Ada enam Thabi’at/Karakter dasar yaitu: Thabiat Al Ibadah/Doa, Thabi’at At-Tafkir/ Berfikir, Thabi’at At-ta’bir/berkomunikasi, Thabi’at Ta’awun wal Marhamah/Tolong Menolong, Thabi’at amal/kreatif dan inovatif, dan Thabi’at Al-Haraqah/ Perjuangan/ patriotisme.
Saat itu, Lutfi Daeng Maro memberi penekanan kepada membangun kekuatan sosial dengan basis budaya dan menjaga kelestarian alam.
Kekuatan sosial dengan basis budaya ini sedang menghadapi tantangan di tengah gerakkan membangun pariwisata sebagai prime mover pembangunan.
Menurut Kepala Dinas Pariwisata Nagekeo, Silvester Teda Sada, S.Fil, pariwisata tidak dapat lepas dari nilai dasar budaya dan tercerabut dari akarnya. Godaan mengembangkan semua infrastruktur pendukung, jangan sampai menjadikan pariwisata hanya sebagai objek tontonan gelaran budaya atau keindahan alam tapi lupa pada nilai-nilai yang ada di baliknya. Pariwisata juga hendaknya selaras dengan kelesatarian lingkungan.
“Untuk mendukung proses wisata berkelanjutan berbasis ekowisata di Kabupaten Nagekeo, maka dalam perjalanan awal perlu didorong untuk mengembangkan konsep Nomadic Tourism. Ini merupakan konsep wisata temporer, baik dari segi aksesibilitas atau amenitas”, demikian pemaparan Pak Sil dalam materinya.
Pada sesi pembicara terakhir dalam seminar ini, Rektor Unwira, Pater Dr. Philipus Tule, SVD menyimpulkan bahwa semua manusia sesungguhnya adalah makhluk peziarah baik itu ziarah agama, ziarah akademik maupun ziarha budaya yang membawa pembaharuan diri.
Dengan berziarah manusia mengenal diri dan potensinya, menghargai sesuatu di luar dirinya melalui belajar memahami, serta memperkuat identitasnya.(*)
Ikuti Berita POS-KUPANG.COM Lainnya di GOOGLE NEWS