Berita Timor Tengah Utara Hari Ini

Direktur Lakmas Cendana Wangi NTT Kritisi Status ASN Aktif dan Gaji Ganda Ketua KPUD TTU

Penulis: Dionisius Rebon
Editor: Edi Hayong
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Direktur Lembaga Anti Kekerasan Masyarakat Sipil Cendana Wangi (Lakmas CW) Nusa Tenggara Timur (NTT), Viktor Manbait

Laporan Reporter POS-KUPANG.COM, Dionisius Rebon

POS-KUPANG.COM, KEFAMENANU- Direktur Lakmas Cendana Wangi NTT Viktor Manbait memberikan kritik pedas terhadap Ketua KPUD TTU yang berstatus ASN aktif dan menerima gaji ganda.

Lembaga Anti Kekerasan Masyarakat Sipil Cendana Wangi NTT menilai Ketua KPUD TTU selain telah melanggar sumpah dan janji serta Melanggar Kode Etik, yang bersangkutan juga sudah tidak lagi memenuhi syarat sebagai penyelenggara pemilu/anggota KPU TTU, untuk tidak lagi menduduki jabatan di pemerintahan.

Kepada POS-KUPANG.COM, Sabtu, 30 Juli 2022, Viktor menuturkan, dalam menjalankan tugas fungsi dan perannya sebagai penyelenggara pemilu, anggota KPU, pegawai sekretariat KPU, Anggota Bawaslu, pegawai sekretariat Bawaslu dari pusat sampai ke Kabupaten /kota, terikat dengan sumpah janji dan kode etik penyelenggara pemilu.

Menurutnya, sumpah tersebut merupakan suatu kesatuan asas moral, etika, dan filosofi yang menjadi pedoman perilaku bagi Penyelenggara Pemilu berupa kewajiban atau larangan, tindakan dan/atau ucapan yang patut atau tidak patut dilakukan oleh Penyelenggara Pemilu.

Dikatakan Viktor, pengakuan terbuka Ketua KPUD TTU periode 2019-2024 , bahwa hingga saat ini masih menjabat sebagai ASN aktif, (PNS Guru) dibuktikan dengan masih menerima gaji dalam jabatan ASNnya tersebut menunjukan  bahwa yang bersangkutan patut diduga keras telah melanggar sumpah dan janjinya sebagai penyelenggara pemilu.

Oleh karena itu, lanjut Viktor, seharusnya yang bersangkutan dengan jiwa besar segera mengundurkan diri.

Baca juga: Status ASN Aktif dan Gaji Ganda, KOMPAK Indonesia Duga Ada Praktek KKN Perekrutan Ketua KPUD TTU 

"Apalagi beliau ini sebagai Ketua Komisi Pemilihan Umum Daerah harusnya menjadi contoh dan teladan dalam mengedepankan etika dan moral tinggi, serta menunjukan teladan akan seorang penyelenggara pemilu yang bekerja berdasarkan  ketentuan hukum dan peraturan perundang - undangan. Bukannya berdalih lagi," ungkapnya.

Polemik tersebut menunjukan bahwa dalam proses seleksi penyelenggara Pemilu di Kabupaten Timor Tengah Utara (TTU) untuk KPU periode Ini, masih berdasarkan KKN yang kuat.

Ia juga mempertanyakan, tugas Badan Pengawas Pemilu, ada Tim Seleksi dan Pemerintah Daerah yang mestinya memastikan seorang yang dalam jabatan  sebagai ASN harus memenuhi syarat adanya rekomendasi pemberhentian sementara untuk bisa melamar sebagai calon anggota KPU tidak dipenuhi tetapi, bisa lolos bahkan menjadi ketua KPU dan menerima gaji dalam jabatan ASNnya,

Viktor menerangkan, polemik tersebut merupakan kejahatan terstruktur. Oleh karena itu dirinya menyarankan kepada yang bersangkutan agar mengundurkan diri tanpa harus menunggu adanya laporan dari masyarakat lagi sebagaimana pernyataan Bawaslu TTU sebagai pengawas Pemilu yang masih menunggu adanya laporan masyarakat baru bertindak.

Baginya, dalam undang-undang, Bawaslu juga berwenang untuk menangani pelanggaran berdasarkan temuan Bawaslu. Bukan hanya dengan menunggu laporan dari masyarakat.

Sikap dan tindakan tidak terpuji yang bersangkutan, kata Viktor, dengan menerima gaji dalam jabatan sebagai ASN tidak saja mencederai kehormatan penyelenggara pemilu namun juga telah merendahkan citra dan martabat guru.

Baca juga: Polemik Status ASN Aktif dan Gaji Ganda Ketua KPUD TTU, Tanggapan Kepala Ombudsman Perwakilan NTT 

"Beliau berjuang untuk melamar mengikuti test sebagai ASN PNS guru namun setelah lulus dan diangkat dan belum bekerja lima tahun telah melacurkan diri, mengkhianati profesi mulia guru dengan melamar lagi menjadi penyelenggara pemilu  bahkan dengan makan gaji buta sebagai seorang guru tanpa mengajar," bebernya.

Ia menambahkan, hampir setiap tahun di NTT khususnya di Kabupaten TTU fenomena kekurangan tenaga guru PNS.

Hal ini mengakibatkan dengan keterbatasan anggaran pemerintah terpaksa merekrut tenaga guru honorer bahkan dengan mengakomodir tenaga guru komite menjadi tenaga pengajar.

Di sisi lain yang bersangkutan tetap menerima gaji rutin tetapi tidak menjalankan tugas. (*)

Berita Terkini