ARTIKEL

Ahmad Syafii Maarif, Bapak Harmonisasi Telah Pergi

Editor: Edi Hayong
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Pater Gregor Neonbasu SVD

Ahmad Syafii Maarif, Bapak Harmonisasi Telah Pergi

Pater Gregor Neonbasu SVD *)

ALAM Nusantara berduka, cuaca Indonesia ditimpa isak-tangis, iklim kehidupan bersama tengah mendung kelabu, demokrasi kita sedang mengalami masa akil balik, multikulturalsime dan pluralisme seakan terkoyak. Mengapa? Sosok Ahmad Syafii Maarif adalah nahkoda, yang kini telah pamit.

Buya Syafii Maarif: Seorang Ulama Besar

Sebagai ulama besar, almarhum pantas dikenang! Ia menjadi 'tokoh contoh' sesepuh agama, yang memiliki segudang ilmu dan praktek hidup beragama yang benar, mulia, dan segar. Pada suatu waktu terselenggaralah sebuah konferensi sekelompok intelektual penting dan terkemuka yang bertemu di Yogyakarta (Bernard Adeney-Risakotta, Mengelola Keragaman di Indonesia Bandung: Mizan, 2015) untuk mempersaksikan kelahiran Indonesian Consortium for Religious Studies (ICRS). Inti seminar, mencipta suatu masyarakat religius harmonis dalam konteks 'multikultural' dan 'pluralistik' seperti di Indonesia.

Ketika itu Prof. Dr. H. Ahmad Syafii Maarif mempresentasi makalah "Pluralisme Sebagai Fakta Sejarah" (hal. 77-80) untuk menanggapi makalah Prof Anthony Reid dari ANU, The Australian National University of Canberra "Pluralisme Agama Sebagai Tradisi Asia" (hal 45-58).

Seraya menekankan sikap saling terbuka untuk berdialog secara transparan, dan terlebih terhadap istilah Anthony Reid mencari kesatuan agama-agama, di dalam usaha mencari jalan membangun relasi antar agama di Indonesia, Buya Syafii Maarif justru menggunakan istilah yang lebih elegan "mencari harmoni dan toleransi keagamaan".

Menurutnya, kesatuan agama-agama terasa agak panteistik, seakan-akan kita ragu-ragu untuk mengakui fakta keunikan tiap-tiap agama. Kata Buya, dari sudut pandang moral, tentu saja, nyaris semua agama memiliki lebih banyak kesamaan dariapda perbedaan. Ia menegaskan, tidak ada agama di Indonesia, misalnya, yang mentolerir penganutnya untuk mencuri, berbuat kerusakan bencana di bumi, atau menghina orang lain karena latar belakang rasial-historis (2015: 77).

Pada kesempatan lain Buya mengeritik aliran 'teologi maut', yakni sebuah teologi yang mengajarkan berani mati dengan tidak berani hidup; artinya suatu paranoid. Pluralisme dalam alam pemikiran Buya adalah sebuah fakta sejarah yang harus dilihat sebagai sebuah kekayaan bagi bagi bangsa dan negara. Pluralisme (agama) dan multikulturalisme (ethnik, suku) adalah harta karun bangsa dan negara Indonesia.

Dalam perspektif falsafah bangsa, Buya menegaskan, Pancasila membuka pintu bagi pluralisme, yang telah diterima oleh mayoritas besar bangsa Indonesia. Itu artinya, tukas Buya, ide apapun yang hendak menerapkan negara teokratis di Indonesia adalah absurd. Buya senantiasa ompitmistik bahwa pluralisme di Indonesia memiliki basis sejarah dan ideologi yang sangat kokoh! (2015: 79).

Buya adalah ulama besar seirima dengan pemikirannya bahwa kini pada saatnya Indonesia dapat tampil perkasa sebagai pusat bagi studi antaragama dan laboratorium dialog keagamaan. Lalu berkenaan dengan kemunculan kelompok-kelompok militan dan radikal ekstrim, ia justru berpendapat bahwa hal-hal itu merupakan fenomena temporer. Mengapa? Tukasnya yakin, Indonesia terlalu besar untuk menyerah kepada ancaman terorisme. Itu artinya apa? Buya yakin, sebuah pluralisme-damai sudah, sedang dan dan akan terus menjadi masa depan Indonesia (2015: 80).

Buya Syafii Maarif: Cendekitawan Muslim Indonesia Handal

Ketika Eddie Lembong mencetuskan Penyerbukan Silang Antarbudaya, Buya bersama Jakob Oetama (alm) merupakan sosok yang memberi dukungan sangat kuat dan amat laris (Sahrul Mauludi, Ed. Penyerbukan Silang Antarbudaya, Membangun Manusia Indonesia, Jakarta: Kompas: Gramedia, 2015). Gelitik Buya terhadap Indonesia yang tiba-tiba merana merapi situasi kini: "Di mana-mana, mulai dari Sabang sampai Merauke yang tertinggal kini hanya sisa-sisa kekayaan saja. Indonesia tidak lagi kaya, ia jatuh miskin dikarenakan watak manusia Indonesia yang memang berpikiran pendek, tidak visioner, serta lebih mengutamakan kepentingan pribadi dan kelompoknya" (Penyerbukan 2015: xxv).

Oleh karena itu, dengan sangat cerdas Buya setuju dengan Eddie Lembong untuk membangun Indonesia dari jantung kebudayaan. Bagi Buya, membangun Indonesia berarti membangun manusianya. Itulah maka ia selalu memberi awasan agar pusat perhatian yang tertuju pada pembangunan fisik tidak boleh mengabaikan kepentingan dan kebutuhan manusia.

Pada sisi tertentu, Buya memberi dua jurus usaha untuk mereview dinamika pembangunan kini: pertama, manusia Indonesia harus didorong untuk memaksimalkan potensi yang ada dalam diri Manusia dan masyarakat Indonesia; kedua, manusia Indonesia siapa saja harus berani melaksanakan PSAB yakni Penyerbukan Silang Antarbudaya. Inti ruang gerak PSAB: berdiri sama tinggi dan duduk sama rendah di atas Taman Sari Dunia yakni Indonesia (Penyerbukan 2015: xxvi. xlv).

Dengan demikian Buya yakin bahwa PSAB dapat dijadikan sebagai strategi kebudayaan baru, untuk mendorong kemajuan bangsa Indonesia ke hari esok. Ketika menulis artikel ini kami sedang meng-edit sebuah naskah buku dengan judul tentative Antologi Paradigma Negara Bhineka. Antara lain Buya telah memberi tulisannya "Memahami Politik Identitas, Menuju Bangsa Bhineka Yang Berdaya". Selain itu, Yudi Latif menyumbang karya "Merajut Multikulturalisme lewat Pendidikan Karakter", dan juga beberapa pakar lainnya.

Buya: Mantan Ketua Umum PP Muhammadiyah

Selaku pemimpin handal, mantan Ketua Umum PP Muhammadiyah periode 1998-2005, selalu mengarahkan pandangan kepada nasib orang-orang kecil, mereka yang sederhana, mereka yang tidak dapat bersuara. Ia selalu menekankan harmonisasi, hidup yang bersahabat, hidup tanpa tekanan, hidup rukun, damai dan aman.

Pada masa Presiden SBY, Buya bersama beberapa tokoh agama berkeliling ke beberapa negara sahabat. Antara lain mereka juga bertandang ke Negeri Kanguru (Australia), dan sempat ke ANU. Kami mahasiswa/i Indonesia dinahkodai KBRI Canberra mendapat waktu istimewa datang bertemu Buya, Kardinal Julius Riyadi Darmaatmadja, S.J. (KWI); Pdt Dr A.A. Jevangoe (PGI) dan beberapa petinggi agama dari Indonesia. Dalam bahasa biasa penuh wibawa, Buya meminta para calon intelektual Indonesia untuk selalu 'rajin' belajar hidup harmonis, rukun dan senantiasa berusaha untuk bersahabat dengan siapa saja tanpa memandang latar belakang sosial, agama dan ethnik.

Kata mantan Presiden World Conference on Religion for Peace (WCRP), masih segar dalam ingatanku, Indonesia negara besar, sehingga membutuhkan pemimpin yang selalu berbesar hati dengan sikap optimistik. Ia mengingatkan, para pendiri bangsa, dengan keluasan wawasan, ketulusan niat, dan jiwa yang arief serta anlisis yang serius hingga mencapai 'sesuatu' yang terbaik serta tanggungjawab kepada nusa dan bangsa. Para pendiri bangsa telah mewariskan dengan cerdas kepada kita suatu dasar falsafah dan pandangan hidup negara yang begitu visioner: Pancasila.

Pancasila sebagai elan vital bangsa Indonesia, sangat diapresiasi dengan sungguh-sungguh dan amat mendalam oleh Buya. Untuk itu diberinya sokongan perkasa bagi karya Yudi Latif Negara Paripurna, Historisitas, Rasionalitas, dan Aktualitas pancasila Jakarta: Kompas Gramedia, 2011: vii), dan ia menganjurkan agar buku tersebut harus dibaca oleh setiap warga Indonesia yang mencintai bangsa dan negara Indonesia. Buya yang selepas menjadi Ketua Umum PP Muhammadiyah, aktif dalam komunitas Maarif Institute dan menjadi tokoh bangsa, negarawan serta pemikir masyarakat, sangat sering menyampaikan kritik secara objektif, segar, dan lugas melalui tulisan-tulisan di berbagai media.

Sebagai sesepuh bangsa dan negara, Buya sangat gigih mempertahankan prinsip dan keyakinannya tentang Islam dan Pancasila. Dengan gagah berani dan lugas Buya menghjadapi dan mengeritik ide Khilafah Islamiyah, ide mengembalikan dan menghidupkan Piagam Jakarta. Ia selalu mengecam gerakan apapun yang menggunakan simbol-simbol agama untuk merusak dan merobek kedaulatan dan martabat Manusia Indonesia (Alumni ANU Canberra, Anggota Institut Anthropos di Jerman, dan Ketua GAG, Gregor Anthropological Group). (*)

Pater Gregor Neonbasu SVD *)

Dosen Universitas Katolik Widya Mandira Kupang, NTT

Berita Terkini