POS-KUPANG.COM - Perundungan atau bully kerap terjadi di sosial media. Salah satu sosok yang pernah menjadi korban tak lain adalah Ketua Komisi Pemilihan Umum (KPU) Republik Indonesia (RI) Ilham Saputra.
Selama menjadi komisioner, perundungan acap kali menyasarnya. Bahkan meme-meme yang dibuat oleh netizen juga kerap beredar luas. Namun, Ilham tak mempermasalahkan hal tersebut karena baginya itu adalah resiko pekerjaan.
"Sebenarnya biasa saja ketika dibuat meme atau kartun. Saya misalnya pernah mengantuk di MK, itu kena foto. Karena waktu itu sidang di MK terkait hasil pemilu itu maraton, capek, saya kan ngantuk, dibilang setan gundul. Tapi saya kira itu hal yang wajar saja karena memang itu resiko pekerjaan," ujar Ilham, saat wawancara khusus dengan Direktur Pemberitaan Tribun Network Febby Mahendra Putra, Kamis 6 Januari 2022.
Baca juga: KPU RI-Tribun Network Teken MoU
Ilham juga memastikan keluarganya memahami kondisi pekerjaannya yang sangat erat dengan perundungan di sosial media. Penjelasan pun kerap diberikannya kepada keluarga.
"Ya selama kita jelaskan dengan baik tentu pahamlah ya. No problem, sudah pahamlah dengan kondisi kita," katanya.
Baca juga: Blak-blakan Ketua KPU RI Ilham Saputra: Pernah Dilobi Peserta Pemilu (Bagian- 1)
Berikut petikan wawancara khusus dengan Ketua KPU RI:
Selama jadi Komisioner KPU, apakah ada serangan pribadi ke Anda?
Pasti ya. Misalnya saja dibuat meme-meme di media sosial tapi menurut saya wajar karena sebagai penyelenggara pemilu itu menjadi resiko pekerjaan. Tetapi kalau untuk berita kami harus mengcounternya dan memberikan jawaban yang sebetulnya kepada masyarakat.
Sebagai Komisioner dan Ketua KPU RI, apa enaknya?
Kalau saya bukan soal enaknya, tapi bagaimana kemudian ya karena saya sudah berpengalaman dari mahasiswa ketika jadi pemantau, kemudian saya pernah menjadi penyelenggara di Provinsi, ya berbuat untuk bangsa itu lewat penyelenggara pemilu kalau saya. Karena saya punya latar belakang itu. Jadi bukan soal enak atau tidak enak, tapi kemudian karena saya senang dengan kepemiluan ketika terlibat dalam tahapan dan penyelenggaraan pemilu ya ini nature saya.
Kalau tidak enaknya?
Ada yang fitnah, dibuat meme dan berita hoaks.
Anda tentu menjadi bahan ejekan, bully-an di sosial media. Apakah Anda baca?
Sebagian saya baca. Tapi hal-hal tertentu yang memang tidak perlu saya bahas ya saya diamkan, jadi resiko pekerjaan. Tapi kalau hal yang memang sifatnya hoaks yang nanti berpotensi menciptakan kebingungan di masyarakat ini yang kita jawab dengan baik sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang ada.
Kritikan apa yang membuat Anda paling sakit hati?
Sebenarnya biasa saja ketika dibuat meme atau kartun. Saya misalnya pernah mengantuk di MK, itu kena foto. Karena waktu itu sidang di MK terkait hasil pemilu itu maraton, capek, saya kan ngantuk, dibilang setan gundul. Tapi saya kira itu hal yang wajar saja karena memang itu resiko pekerjaan.
Kan dibaca oleh keluarga, istri dan anak. Yang paling jengkel terkait bully-an di sosial media siapa?
Tentu kan sudah kita jelaskan kepada keluarga ya bahwa ini resiko pekerjaan jadi tidak ada masalah dengan itu. Ya mungkin mereka mangkel juga. Nggak lah (kalau tertekan), kan nggak ada hal fisik yang membuat kita menderita. Makanya salah satu syarat menjadi penyelenggara pemilu itu mentalnya harus kuat. Ya selama kita jelaskan dengan baik tentu pahamlah ya. No problem, sudah pahamlah dengan kondisi kita.
Sepanjang yang Anda rasakan, apakah remunerasi atau penghargaan negara pada Anda dibandingkan dengan resiko yang dihadapi, apakah cukup atau kurang?
Wah agak berat ini pertanyaannya. Ya saya kira memang agak berat ya karena pekerjaan kita berat. Ya saya kira soal cukup dan tidak cukup relatif.
Menurut Anda perlu ditambah nggak penghargaan itu?
Baiknya seperti itu. Ditambah. Karena pekerjaannya memang luar biasa apalagi di dalam Pemilu dan Pilkada 2024 yang akan datang.
Pemilu 2024 adalah pemilu bersejarah. Apakah ada catatan tertentu dari Anda?
Sebenarnya setiap pemilu itu ada sejarahnya masing-masing, kemudian ada tantangannya masing-masing. Kalau ini (2024) challengenya adalah karena memang dia dilaksanakan pada tahun yang sama yaitu 2024. Nah karenanya siapapun nanti komisioner KPU berikutnya dia harus menghitung betul bagaimana jalannya tahapan sesuai waktu yang ada, sesuai peraturan perundang-undangan.
Agar kemudian irisan-irisan yang memang memisahkan antara pemilu dan pilkada itu bisa diiris dengan baik. Karena jika tidak, kekhawatiran saya adalah secara teknis petugas kita di bawah itu kesulitan. Karena mungkin di waktu yang sama, sementara di tahapan pemilu sedang membuat rekapitulasi, di tahapan pilkada mereka sedang mendaftarkan calonnya untuk pilkada. Itu kan harus bagi-bagi waktu dan sebagainya. Nah ini harus dihitung betul agar bagaimana kita bisa menjalankan pemilu dan pilkada 2024 di tahun yang sama.
Tantangan dalam pengaturan berikutnya yang paling perlu diperhatikan?
Challengenya beban kerja. Beban kerja petugas kami dibawah. Kalau kami di KPU RI ini kan menjadi regulator yang menurunkan undang-undang menjadi peraturan komisi pemilihan umum. Akan tetapi di provinsi dia menjadi koordinator bagi kabupaten/kota. Nah kabupaten/kota inilah eksekutor. Dia bekerja menjadi ujung tombak kami dan tentu ini beban kerja menjadi penting.
Untuk masa depan, apa mungkin teknis pemungutan suara tidak seperti saat ini?
Sebetulnya kami sudah melakukan semacam contoh di Pilkada 2020 lalu. Kami menerapkan sistem informasi rekapitulasi. Jadi nanti hasil penghitungan yang kita sebut C Plano itu bisa di foto, kemudian dibawa ke tingkatan di atasnya lagi nah itu tinggal melihat itu. Para saksi tidak perlu lagi menerima formulir, tinggal di scan saja, semua sudah punya softcopynya. Mau hardcopynya tinggal print.
Pemungutan suaranya sendiri? Apakah tetap harus datang ke TPS, mencoblos surat suara?
Pemungutan suara itu kita belum pernah ada masalah. Persoalan kita ada di penghitungan dan rekapitulasi. Ketika pemungutan masyarakat datang berbondong-bondong tidak ada masalah, tidak pernah ada masalah ketika masyarakat datang ke TPS. Sementara sekarang sebagian negara yang menggunakan e-voting itu sudah menggunakan kembali metode manual.
Jadi memang saya kira pemungutan suara tidak ada masalah. Tetapi yang kami terapkan dalam beberapa kali pemilu adalah dengan rekapitulasinya harus terbuka. Jadi form C yang ada di TPS itu kami scan, orang bisa lihat. Nah pengalaman Pilkada 2020 juga seperti itu. Difoto, discan, nanti semua saksi kemudian petugas kami bisa melakukan rekapitulasi.
E-voting itu kelemahannya apa?
Kalau mesinnya rusak, itu gimana? Persoalan maintenance juga. Kemudian kita mau sewa atau beli mesin itu? Itu juga harus diperhatikan. Lebih ribet sebetulnya. Pengalaman di beberapa negara misalnya di Filipina, dia menggunakan e-voting kemudian mesinnya ngadat, akhirnya yang dihitung tetap manual. Itu kan membuat lebih complicated, rumit, belum lagi sosialisasi kepada masyarakat terhadap e-voting itu. Kan tidak semua masyarakat kita paham terhadap e-voting.
Apa saran Anda supaya kejadian di 2019, banyak anggota KPPS kehilangan nyawa, setidaknya resiko itu bisa diminimalkan?
Sebetulnya riset terhadap itu sudah kita terima dari berbagai universitas. Salah satunya adalah misalnya komorbid. Sulit bagi kita untuk mengecek kesehatan kemudian kita menerapkan syarat kesehatan mereka itu terlalu tinggi. Karena apa? Gajinya nggak seberapa, masuk rumah sakit seharga gajinya.
Kemudian kami menerapkan batas usia, 20 sampai 50 tahun. Itu pun banyak komplain karena memang sulit kita menemukan teman-teman KPPS dan sebagainya yang mau bekerja ketika itu.
Apa statement bapak terkait soal kepemiluan yang pada 2022 itu sudah memasuki tahap untuk mencapai 2024?
Tentu saat ini KPU sedang menyiapkan beberapa tahapan-tahapan pemilu, terutama karena tahapan pemilu itu 20 bulan yang diatur oleh undang-undang. Oleh karenanya tentu persiapan pemilunya harus dilakukan dari sekarang. Jadi kita nggak bisa bicara pemilunya baru 2024 kok sekarang udah mulai, ya tentu karena tahapannya seperti itu. Itu yang harus dimengerti dan dipahami oleh masyarakat bahwa memang pekerjaan KPU itu seperti siklus.
Selesai pemilu, persiapan, pemilu lagi. Jadi itu yang perlu diketahui, karena banyak pertanyaan kalau nggak ada pemilu ngapain, padahal banyak hal yang perlu kita persiapkan untuk mensukseskan pemilu dan pilkada 2024 yang akan datang. (tribun network/vincentius jyestha)