Rezim Machiavelisme Ala Sang Rektor
Oleh: Har Yansen
Mahasiswa Pascasarjana Teologi Kontekstual STFK Ledalero
POS-KUPANG.COM - Dalam filsafat politik, Nicolo Machiavelli dikenal sebagai salah satu filsuf politik modern yang pernah menjadi birokrat, diplomat, kanselir di kota Florence.
Sebagai diplomat, filsuf kelahiran 3 Mei 1469 ini seringkali ditugaskan untuk menghubungi para penguasa seperti raja Prancis, kaisar Jerman dan Paus.
Pada masa hidupnya panggung politik di kota Florence terjadi persaingan dan permusuhan antara para bangsawan Guelph dan Chibelline.
Salah satu persaingan yang turut meramaikan drama politik itu adalah perkelahian antara Girolamo Savoranola dan Alexander VI.
Savoranola adalah seorang pemimpin biara Dominikan di kota Florence. Dengan bantuan Charles VIII dari Perancis, ia berhasil mengusir penguasa kota Florence waktu itu, yakni Lorenzo dan putranya Piero de’Medici.
Savoranola ingin membangun sebuah pemerintahan teokratis. Ia ingin membendung semangat sekularistis pada masa renainsans dengan ajaran moral yang bersumber pada Kitab Suci.
Namun kekuasaan Savoranola tidak bertahan lama. Para bangsawan yang tidak senang akan kepemimpinannya mulai membentuk gerakan oposisi.
Gerakan oposisi ini didukung oleh Paus Alexander VI (salah seorang Paus yang sangat dipengaruhi semangat sekularistis zaman renainssance).
Savaranola akhirnya ditangkap dan dibakar mati sebagai seorang penyesat.
Sejarah politik negara kota Florence tersebut kemudian turut mempengaruhi filsafat politik Machiavelli.
Salah satu figur yang memberi inspirasi pada filsafat politiknya adalah kaisar Borgia. Kaisar itu kejam tetapi amat terampil.
Untuk mencapai tujuan memperoleh dan mempertahankan kekuasaan politik, sang kaisar tidak tanggung-tanggung untuk membunuh saudara-saudaranya.
Dari situlah Machiavelli mendapatkan inspirasi untuk membangun filsafat politik yang kontroversial “tujuan menghalalkan cara”.
Machiavelli kemudian menggambarkan politik itu sendiri sebagai sebuah pertarungan menuju kekuasaan.
Dalam analisis politiknya, secara radikal dia memisahkan antara kekuasaan politik dan moral. Moral adalah musuh bebuyutan dari kekuasaan politik.
Bagi Machiavelli kekuasaan bukanlah personifikasi dari keutamaan-keutamaan moral. Ia malah menganjurkan sang penguasa untuk berbuat apa saja, termasuk hal-hal yang dianggap jahat demi kebaikan negara.
Sang penguasa harus menanamkan dan memelihara perasaan takut warganya terhadap dirinya.
Karena moral dan kuasa dipisahkan maka dalam rangka mencapai kekuasaan politik, seseorang bisa saja menghalalkan segala cara, yang di dalamnya semuanya diizinkan.
Di Indonesia konsep politik menghalalkan segala cara ala Machiavelli tersebut dapat direduksi ke dalam rezim Orde Baru di bawah pimpinan Soeharto.
Kekuasaan Soeharto yang pada awalnya berlandaskan asas hukum perlahan-lahan menjurus ke negara yang berdasarkan kekuasaan.
Secara faktual Soeharto mempunyai beberapa doktrin sentral yang menandai kebijaksanaan dan watak politiknya.
Dalam ekonomi nasional doktrinnya adalah pertumbuhan ekonomi.
Dalam kebudayaan doktrin utamanya adalah kebudayaan nasional; dalam kependudukan doktrin utama adalah pembatasan jumlah penduduk.
Dalam politik doktrin utamanya adalah penyederhanaan partai politik dan partisipasi politik terbatas.
Dalam kehidupan pers diberlakukan doktrin kebebasan yang bertanggung jawab.
Dalam pendidikan tinggi doktrinnya adalah pemisahan kemampuan akademis-analitis dari keterlibatan politik praktis, sedangkan dalam bidang keamanan diberlakukan doktrin stabilitas nasional.
Semua konsep ini mempunyai hubungan yang relatif logis dan konsisten.
Stabilitas nasional dibutuhkan untuk menjamin adanya ketenangan dan stabilitas politik, yang tidak boleh diganggu oleh partisipasi politik yang terlalu luas dan tak terkendali.
Sementara itu kegiatan dan keterlibatan kampus hanya pada fungsi akademis-analitisnya, supaya kampus tidak menyebabkan aktivisme politik yang terlalu banyak.
Politik yang stabil dianggap menjadi prasyarat terpenting untuk pertumbuhan ekonomi dan masuknya modal dan investasi asing.
Jumlah penduduk yang besar lebih dianggap sebagai tantangan dan kendala dan bukannya peluang sebagai sumber daya dan potensi pasar, sehingga harus dibatasi.
Akan tetapi di balik cerita sukses stabilitas nasional yang dituturkan Soeharto tersebut ternyata tak ternilai political cost yang harus dibayar rakyat.
Hasrat dan nafsu untuk berkuasa yang dimiliki Soeharto telah mempatenkan politik menghalalkan cara ala Machiavelli untuk melanggengkan status quo-nya.
Machiavelisme ala Rektor
Pos Kupang, Selasa 24 Agustus 2021 menurunkan berita berjudul: “Rektor Undana Nyaris Baku Hantam”.
Diberitakan bahwa kejadian ini bermula saat Rektor Fred Benu, Tim Laboratorium Biokesmas NTT, Pemprov NTT dan pihak FAN menggelar pertemuan membahas rencana pemindahan.
Namun emosi Rektor meluap ketika Elcid Li dan Rektor berdebat rencana penutupan Laboratorium Biokesmas tersebut. Peristiwa ini patut disayangkan.
Sikap dan perilaku Sang Rektor telah mengebiri angin demokrasi yang telah lama hidup dalam dunia pendidikan.
Sebagai akademisi-profesional, seorang rektor seharusnya tahu bahwa yang boleh gunakan kekerasan fisik hanyalah Negara (Gewaltmonopol des Staates).
Dari caranya, Sang Rektor tampak berpikiran picik, anti-kritik, feodal, dogmatis, dan cenderung mengandalkan kekuasaan.
Memang Soeharto telah lama mati, tetapi Soehartoisme masih kuat dan bertumbuh subur dalam cara dan tindakan sang rektor.
Sebuah bahaya besar yang harus segera dikikis bersih demi kelangsungan reformasi serta proses demokratisasi dalam dunia pendidikan saat ini.
Junjung Tinggi Demokrasi
Edward Said, profesor literatur dari University of Colombia, dalam bukunya Representation of the Intellectual menulis bahwa kaum cendekiawan ialah seorang yang berpikir dan menyumbangkan gagasannya secara demokratis.
Ia menggunakan ilmu dan ketajaman pikirannya untuk mengkaji, menganalisis, merumuskan segala perkara dalam kehidupan manusia demi sebuah kebenaran.
Martabat seorang cendekiawan idealnya terikat dengan sense of morals and ethics. Ia harus memperjuangkan the common good, ranah kebenaran, kejujuran, keadilan, cinta kasih, pemerdekaan, dan perdamaian.
Hal serupa pernah diungkapkan oleh Mohammad Hatta. Ketika berbicara di Universitas Indonesia pada tahun 1957, Mohamad Hatta menunjukkan kedudukan dan peranan kaum cendekiawan (disebutnya inteligensia) yang justru mengimplikasikan tanggung jawabnya, yaitu mencari dan membela kebenaran.
Para cendekiawan memikul tanggung jawab besar karena kualitasnya sebagai kelompok terpelajar.
Mereka memiliki kemampuan menguji yang benar dan yang salah, berdasar argumentasi keilmuannya.
Ilmu, secara intrinsik mengandung nilal moral, dan oleh karena itu maka kaum cendekiawan juga memiliki tanggung jawab moral, selain intelektual.
Pesan seperti ini mungkin terdengar klise. Namun, justru di situlah kuncinya. Cersei Lannister dalam salah satu episode akhir The Game of Thrones, berkata kepada Eddard: “Dalam sebuah demokrasi (pertarungan), kau akan menang atau mati. Tidak ada jalan tengah.”
Demokrasi layak diperjuangkan justru karena sistem ini membuka kemungkinan bagi kehidupan bersama yang damai, bersaing dalam perbedaan, dengan garis batas yang jelas tentang benar dan salah, fakta dan fiksi, adil dan tidak adil, dan semacamnya.
Itulah yang menjadi jiwanya setiap masyarakat demokratis. Tanpa itu, kematian demokrasi di tangan kaum Machiavelianisme atau kelompok lainnya, hanya tinggal menunggu waktu.
Hal ini, menurut saya, perlu direnungkan bukan hanya oleh Sang Rektor, melainkan juga kita semua.*