Sementara itu kegiatan dan keterlibatan kampus hanya pada fungsi akademis-analitisnya, supaya kampus tidak menyebabkan aktivisme politik yang terlalu banyak.
Politik yang stabil dianggap menjadi prasyarat terpenting untuk pertumbuhan ekonomi dan masuknya modal dan investasi asing.
Jumlah penduduk yang besar lebih dianggap sebagai tantangan dan kendala dan bukannya peluang sebagai sumber daya dan potensi pasar, sehingga harus dibatasi.
Akan tetapi di balik cerita sukses stabilitas nasional yang dituturkan Soeharto tersebut ternyata tak ternilai political cost yang harus dibayar rakyat.
Hasrat dan nafsu untuk berkuasa yang dimiliki Soeharto telah mempatenkan politik menghalalkan cara ala Machiavelli untuk melanggengkan status quo-nya.
Machiavelisme ala Rektor
Pos Kupang, Selasa 24 Agustus 2021 menurunkan berita berjudul: “Rektor Undana Nyaris Baku Hantam”.
Diberitakan bahwa kejadian ini bermula saat Rektor Fred Benu, Tim Laboratorium Biokesmas NTT, Pemprov NTT dan pihak FAN menggelar pertemuan membahas rencana pemindahan.
Namun emosi Rektor meluap ketika Elcid Li dan Rektor berdebat rencana penutupan Laboratorium Biokesmas tersebut. Peristiwa ini patut disayangkan.
Sikap dan perilaku Sang Rektor telah mengebiri angin demokrasi yang telah lama hidup dalam dunia pendidikan.
Sebagai akademisi-profesional, seorang rektor seharusnya tahu bahwa yang boleh gunakan kekerasan fisik hanyalah Negara (Gewaltmonopol des Staates).
Dari caranya, Sang Rektor tampak berpikiran picik, anti-kritik, feodal, dogmatis, dan cenderung mengandalkan kekuasaan.
Memang Soeharto telah lama mati, tetapi Soehartoisme masih kuat dan bertumbuh subur dalam cara dan tindakan sang rektor.
Sebuah bahaya besar yang harus segera dikikis bersih demi kelangsungan reformasi serta proses demokratisasi dalam dunia pendidikan saat ini.
Junjung Tinggi Demokrasi