Dalam pengalaman pendampingan, realitasnya tidak mudah bagi anak dan perempuan korban kekerasan untuk mendapatkan keadilan, mengungkapkan kebenarannya dan juga mendapatkan pemulihan yang utuh dari berbagai dampak kekerasan yang dialaminya.
Minimnya dukungan bagi Korban
Hambatan tersebut dimulai dari bahkan dimulai dari lapisan terdekat korban. Dukungan keluarga dan komunitas yang minim dan bahkan cenderung menyalahkan dan tidak berpihak pada korban, masih belum meratanya ketersedian layanan perlindungan perempuan dan anak berbasis komunitas, payung hukum dan peraturan perundang-undangan yang belum berpihak pada anak dan perempuan, komitmen anggaran, kapasitas penyedia layanan, ketersediaan lembaga penyedia layanan multi dimensi (hukum, psikologis, medis, ekonomi), cara kerja dan persfektif penyedia layanan termasuk aparat penegak hukum hingga tidak terintegrasinya sistem layanan baik hukum pidana hingga sistem pemulihan.
Kelembagaan layanan perlindungan anak di Provinsi NTT pun juga masih memiliki tantangan serupa, dari 22 kabupaten/kota baru terdapat 16 kabupaten yang sudah memiliki lembaga layanan berupa P2TP2A, dan tidak semuanya memiliki perangkat kebijakan mekanisme kerja yang memadahi (SOP).
Tantangan lain juga nampak pada ketiadaan mekanisme koordinasi, kerja sama dan rujukan baik antara lembaga penyedia layanan multidimensi, maupun antar wilayah baik desa ke kabupaten, antar kabupaten dan kabupaten dengan provinsi.
Ketiadaan mekanisme koordinasi dengan mitra kerjanya berdampak pada tidak berjalannya keterpaduan layanan. Sementara Kebutuhan korban kekerasan tidak tunggal, membutuhkan pendekatan multi dimensi, koordinasi, baik untuk dalam pelaporan dan rujukan namun juga dalam membangun kerja sama dan berbagi sumber daya untuk pemenuhan hak korban.
Sederet pekerjaan rumah bagi terselenggaranya layanan terpadu bagi perempuan dan anak korban kekerasan terus perlu dilakukan perbaikan baik dalam memenuhi standar minimum layanan yang tertuang dalam Peraturan Menteri PPPA No 1 Tahun 2010 (layanan pelaporan, layanan medis, layanan rehabilitasi sosial, layanan bantuan hukum dan penegakan hukum, layanan psikologis, layanan reintegrasi dan pemulangan) namun juga bagaimana mengintegrasikan layanan tersebut dengan layanan perlindungan sosial, ketersediaan shelter/rumah aman, hingga pemberdayaan ekonomi, dan bahkan layanan perlindungan anak dan perempuan korban kekerasan dalam situasi darurat termasuk situasi bencana maupun pandemi.
Sebagai contoh di masa pandemi, penyedia layanan harus berhadapan dengan meningkatnya biaya layanan seperti alat transportasi yang aman untuk menjangkau korban, penyediaan APD yang sesuai dengan protokol kesehatan Covid-19, biaya telekomunikasi untuk menjangkau atau melayani korban di masa pandemi dst.
Sementara dari sisi pemerintah, kewajiban tersebut juga harus berhimpitan dengan kebijakan refocusing anggaran di masa pandemi.
Membangun rekomendasi bagi terselenggaranya layanan terpadu
Salah satu rekomendasi yang perlu dibangun oleh pemerintah adalah mengembangkan sistem perlindungan anak dan perempuan yang integratif, tidak hanya menyoal reporting dan referral semata, namun bagaimana sistem layanan juga mampu memberikan pemulihan yang utuh bagi korban hingga ia bisa kembali berdaya dan resiliens/tangguh.
Wahana Visi Indonesia dalam mengembangkan sistem perlindungan anak mengembangkan konsep setidaknya terdapat 7 elemen kunci sistem perlindungan anak yang perlu dibangun baik secara formal maupun informal yakni (1) mengembangkan kebijakan baik formal dan nonformal, yang berbasis pada hukum hak asasi manusia maupun pengakuan nilai nilai tradisional yang menghargai perempuan dan anak (2) memperkuat sistem layanan baik berbasis kelembagaan maupun berbasis komunitas (3) memperkuat kapasitas para penyedia layanan yang terstruktur termasuk juga kapasitas orang tua (4) membangun mekanisme akuntabilitas berupa mekanisme kerja (SOP), mekanisme rujukan dan pelaporan, mekanisme complain, dst (5) memperkuat koordinasi antar layanan multidimensi dan antar wilayah (5) membangun ruang peduli bagi anak yang dimulai dari lingkaran terdekat bagi anak (6) memperkuat kapasitas dan daya tangguh anak untuk mampu melindungi diri dan lebih berdaya.
Untuk menterjemahkan 7 elemen tersebut tentu perlu diikuti dengan tolok ukur yang jelas, semisal pada pengembangan kebijakan seberapa implementatif kebijakan yang sudah dikembangkan dapat memastikan anak anak dan perempuan terlindungi, berapa anggaran yang sudah dimaksimalkan untuk menjangkau anak dan perempuan korban kekerasan hingga memastikan pemulihannya.
Seberapa besar kebijakan hukum tersebut dapat dijangkau oleh mereka yang paling rentan. Sebagaimana kita tau acapkali kebijakan tersebut tidak dapat diterapkan karena masih adanya tantangan biaya yang harus dihadapi oleh korban seperti transportasi dari desa ke kota dan biaya operasional lainnyauntuk dapat mengakses layanan, biaya visum, dst.
Sementara dari sisi layanan, P2TP2A di tingkat kabupaten/kota acapkali juga memiliki hambatan biaya dan tidak mendapatkan dukungan dana yang memadai.