POS-KUPANG.COM - Curhatan Pengungsi Afganistan di Kupang, Kami Seperti Burung Dalam Sangkar, Tolong Buka Hatimu IOM dan UNHCR
RABU 28 April 2021 pukul 09.00 Wita hingga 11.50 Wita, puluhan pengungsi asal Afghanistas berkumpul di depan Kantor IOM Kupang di daerah Walikota Kupang, NTT. Laki-laki dan perempuan yang mengenakan jilbab, baik dewasa, remaja dan anak-anak usia 2 tahun keatas dan remaja hingga perempuan hamil ikut dalam aksi damai tersebut.
Sebagian besar mereka membawa kertas kartun bertuliskan harapan dan kritik mereka antara lain, “Help Me; Perhatian pengunsgi yang terlupa di Kupang; We are being killed physically in afghanistan and mentally in Indonesia; Save our childhood; this is my dream home; This is our life plesae (gambar burung); Do not play with refugees lives; Please pay attention to the forgotten refugees in Indonesia; We want resettlemen;
• Anak-Anak, Remaja, Perempuan Hamil Asal Afghanistan Demo Ke Kantor IOM Kupang
We are waiting for 7 years, it is too long our children become elder their future is uncertainty please save our childrens future; 2013-2021; Victim of long process; Wake up UNHCR: Immigrants are asking you for asyum but not annihilation; i lost 3 years of my childhood why?; Deppression, no hope, no process, imprisoned; UNHCR, IOM futur kita ada di tanganmu, buka katimu kami meminta proses; We want process; We are exhausted; We want a normal life; We want justice.
Mereka bernegosiasi ingin bertemu dengan pimpinan IOM namun tak berhasil. Sehingga mereka melakukan aksi damai di depan pagar IOM yang terkunci. Sementara itu sejumlah staf IOM berdiri melihat dari dalam pagar. Sejumlah Polisi berpakaian preman dan pihak Rudenim dan Imigrasi juga berada disana. Kasat Intel Polres Kupang, AKB Alberto tiba di lokasi sekitar pukul 11.20 Wita.
Kubra Hasani mengaku kecewa dengan sikap IOM yang tidak mau menerima mereka untuk berdialog saat itu. Menurut Kubra, nasib mereka ada di tangan UNHCR dan IOM. “Tolong buka hatimu, kami minta diproses, sudah lama kami disini, cukup sudah, semua kita capek. Ada ibu hamil, anak-anak sekarang datang kesini. Kenapa? Karena kami capek,” kata Kubra dengan mata berkaca-kaca.
Menurutnya, ada pengungsi yang datang dari Afghanistan sejak tahun 2013 tapi hingga tahun 2021 belum diproses IOM dan UNHCR untuk pindah ke Negara ketiga. “Kita lari dari Afghanistan karena perang tapi disini kita mendapatkan masalah mental. Dan dalam satu tahun ini sudah ada 13 orang pengungsi yang bunuh diri (di Indonesia),” kata Kubra.
Kubra dan pengungsi merasa terisolasi sebab dibatasi, tidak boleh berpergian atau bekerja, dan tak mendapatkan hak sebagaimana manusia lainnya karena status pengungsi. Hal ini itu terisolasi dan terkarantina. Menurutnya, jika sudah setahun lebih terjadi pandemic Covid-19 dimana semua orang diharuskan berada di rumah saja, tidak boleh berpergian, bersekolah dan bekerja dari rumah hingga tak bisa bertemu keluarga.
“Kami pengungsi sudah merasakan karantina selama bertahun-tahun, tak boleh bekerja, tidak ada hasil, tidak bisa belajar atau bertemu keluarga. Coba rasakan apa yang kami rasakan. Kami hanya ingin hidup normal di negara lain tapi kami tidak diproses kesana, hanya bilang tunggu-tunggu, sampai kapan,” kata Kubra.
Kubra menilai di Kupang prosesnya sangat lama padahal di kota lainnya di Indonesia banyak pengungsi yang sudah berangkat ke Negara ketiga.
Kubra menyesal karena setiap bulan pihak IOM menemui mereka di penginapan untuk memberikan uang bulanan namun tak berkomunikasi tentang proses ke Negara ketiga. “Beberapa kali kita omong dengan mereka (IOM), tapi tidak ada solusi, tidak ada respon. Itu yang buat kami berkumpul disini. Jika tidak ada respon maka besok kami akan datang lagi,” janji Kubra.
Kubra mengaku mereka capek menunggu proses IOM dan UNHCR. “Selama ini kami hidup tapi sebenarnya tidak hidup. Proses ini terlalu lambat, kami capek, mental capek, otak capek. Orang yang bunuh diri karena mereka sudah capek,” kata Kubra didukung Mahadis dan Yugana.
Mohaddese (20) ingin bekerja dan mengenyam pendidikan yang layak tapi hal itu tidak diperoleh karena statusnya. “Kami seperti hidup di penjara, seperti burung dalam sangkar, punya sayap tapi tak bisa terbang,” kata Mohaddese. Meski demikian Mohaddese berharap teman-temannya tak menyerah sebab hidup masih panjang dan semoga mereka bisa meraih apa yang diinginkannya.
“Kami ingin ada kesetaraan dan mendapatkan hak kami. Kami sudah menunggu dengan sangat lama, 9 tahun tapi belum ada perubahan yang signifikan. Berharap ini menjadi perhatian IOM,” kata Mahadis.
Yegane (14) mengkuatirkan para pengungsi mengalami depresi dan masalah mental yang lebih parah karenanya IOM segera bisa memperhatikannya. “Kondisi depresi sangat mengganggu dan menyakiti saya karena melihat orang disekitar tidak punya kesempatan mengembangkan diri. Makin lama hal ini dibiarkan maka setiap orang disini akan mengalami mental problem yang lebih parah,” kuatir Yegane.