Karenanya, total utang China secara persentase dari PDB kemungkinan akan turun sekitar 2 poin persentase pada tahun ini setelah melonjak 25 poin persentase tahun lalu, menurut Wang Tao, Kepala Ekonom China di UBS.
Dengan sebagian besar kebijakan pajak dan pemotongan biaya berakhir pada akhir 2020, rasio defisit fiskal terhadap PDB diperkirakan turun menjadi 3% atau bahkan lebih rendah tahun ini.
Ye Qing, seorang profesor di Zhongnan University of Economics and Law, Wuhan, menilai bisa China akan mengumumkan target defisit anggaran sebesar 2,5-3% PDB untuk tahun ini. Karena anggaran pemerintah akan kembali ke tingkat sebelum pandemi.
Itu tidak berarti negara itu akan merevisi pengeluaran pertahanannya, kata Ye, mengutip komitmen berkelanjutan dari pemerintah China untuk membangun kapal induk. Rencana ini menjadi salah satu pengeluaran terbesar untuk menopang kekuatan militer China.
Dalam laporan penelitian AVIC Securities yang dipimpin oleh Zhang Chao, pada Juni 2020, menunjukkan pengeluaran anggaran pertahanan China telah meningkat dengan tingkat pertumbuhan gabungan rata-rata sebesar 9,1% antara tahun 2010 dan 2019. Tetapi dibandingkan dengan seluruh ukuran ekonominya yang terus meningkat, beban pertahanan negara tersebut tetap relatif rendah.
Anggaran pertahanan negara menyumbang 1,22% dari PDB pada 2019. Ini lebih rendah daripada Rusia, AS, dan India, tulis AVIC Securities.
China telah mempertahankan anggaran pertahanannya pada sekitar 1,3% dari PDB-nya selama beberapa tahun terakhir, yang jauh di bawah rata-rata tingkat global 2,6% PDB.
Sebab itu Song Zhongping, seorang ahli militer Tiongkok, menilai anggaran pertahanan China relatif rendah, dan pengeluaran pertahanan atau rasio PDB yang sedikit lebih tinggi dapat lebih mencerminkan kebutuhan China dalam pembangunan ekonomi.
Song mengatakan bahwa China menghadapi ketegangan militer yang tinggi selama setahun terakhir, dan China juga memodernisasi militernya, yang semuanya membutuhkan dana.
Pada tahun lalu, Tiongkok ditantang oleh provokasi militer berulang kali dari AS, yang mengirim banyak kapal perang dan pesawat tempur untuk pengintaian jarak dekat di wilayah pesisir Tiongkok dan latihan militer, yang beberapa masuk tanpa izin ke perairan teritorial China di Laut China Selatan.
Kemudian beberapa memasuki Selat Taiwan sebagai dukungan nyata bagi para separatis Taiwan di Pulau Taiwan yang telah berkali-kali ditopang dengan penjualan senjata canggih AS termasuk, dan ditambah dengan pengiriman pejabat tinggi AS ke pulau itu.
Di barat daya, India sekali lagi secara provokatif memicu kebuntuan militer selama berbulan-bulan dengan China termasuk bentrokan fatal yang memakan korban di kedua sisi.
Song mengatakan China terus menghadapi ancaman eksternal, dan kemungkinan tetap menghadapi ancaman di beberapa titik panas yang berpotensi menjadi konflik, sehingga membutuhkan Tentara Pembebasan Rakyat (PLA) untuk meningkatkan kekuatan dan kemampuan tempurnya yang komprehensif, yang membutuhkan investasi.
Li Jie, seorang ahli militer yang berbasis di Beijing mengatakan bahwa Presiden AS Joe Biden kemungkinan akan menggunakan strategi pemerintahan sebelumnya yakni era Barrack Obama di kawasan itu untuk menjadi referensi dan terus menekan China dari laut, mencoba mengumpulkan sekutu.
"Laut China Selatan, Selat Taiwan, dan Kepulauan Diaoyu semuanya akan tetap menjadi titik api bagi keamanan maritim," kata Li.