Orang Bajo Kecamatan Alok 'Lahirnya' di Laut, Kemewahannya Adalah Sampan

Penulis: Ryan Nong
Editor: Rosalina Woso
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Orang Bajo Lahirnya di Laut. Kemewahannya adalah sampan. Mereka menghabiskan sebagian besar hidupnya di laut. 

Orang Bajo Kecamatan Alok Lahirnya di Laut, Kemewahannya Adalah Sampan

POS-KUPANG.COM | KUPANG -- Orang Bajo Lahirnya di Laut. Kemewahannya adalah sampan. Mereka menghabiskan sebagian besar hidupnya di laut. 

Tutur Haji Adam, tokoh agama dan masyarakat di Wuring, Kecamatan Alok Kabupaten Sikka, NTT itu bukan tanpa alasan. Ia dan hampir sebagian besar warga keturunan Bajo yang mendiami wilayah itu masih tinggal di rumah panggung yang dibangun di atas air laut. 

Penelusuran terhadap sejarah dan kebudayaan Bajo pun bukanlah perkara mudah, sebab tidak banyak yang tahu tentang bangsa pelaut yang banyak menghabiskan hidupnya di atas laut ini. 

Menurutnya, suku Bajo merupakan suku bangsa yang paling besar penyebarannya di dunia. Mereka muncul di laut, hidup di laut, tidak mempunyai tanah dan nomaden.

“Orang Bajo asalnya dari laut. Kalau ada yang bilang asalnya dari gunung atau dari langit itu omong kosong. Orang Bajo itu lahirnya di laut,” ungkap Haji Adam saat pembukaan Festival Kampung Wuring, Siselo Susurang, di kampung Wuring Leko, Kabupaten Sikka, Minggu 14 Februari 2021 lalu.

Dalam pembukaan festival yang diinisiasi Komunitas KAHE yang bekerja sama dengan Teater Garasi/Garasi Performance Institute dan didukung oleh Voice Indonesia itu, Haji Adam mengisahkan sejarah mereka, anak anak Suku Bajo. 

Menurunya, sebagai bangsa pelaut, orang Bajo dikenal menggunakan sampan-sampan kecil, bukan menggunakan perahu atau kapal-kapal besar yang telah banyak digunakan oleh para pelaut saat ini. Karena hidup di laut dan menggunakan sampan-sampan kecil, satu-satunya pekerjaan yang dilakukan oleh orang suku Bajo adalah melaut.

Haji Adam bertutur, sebelum bercampur dengan warga lain, rumah-rumah yang ada di Wuring sangat bercorak tradisional. Karena satu-satunya kemewahan yang dimiliki oleh orang Bajo adalah sampan, bukan rumah. 

Akan tetapi, seiring perkembangan zaman, banyak hal yang telah berkembangan dan berubah karena pertemuan dan interaksi dengan beragam suku bangsa lain.

“Tetapi sekarang sudah canggih toh. Karena kita sudah banyak bercampur dan tidak tahu asalnya dari mana,” ungkapnya.  

Tradisi Ula-Ula

Meski perkembangan menggerus berbagai keutamaan berbagai istiadat, masyarakat Bajo di Wuring masih mempertahankan tradisi Ula Ula. Tradisi yang berkembang di Wuring Leko hingga saat ini, menurut Haji Lolo, salah satu tokoh agama dan adat, dibawa dari Sulawesi Tenggara oleh kakeknya. 

Karena itu, hingga saat ini, jika ada keturunan Lolo Bajo yang akan menikah, maka wajib hukumnya mengibarkan bendera ula-ula yang telah menjadi identitas dan hukum adat mereka. Namun jika ula-ula tidak dikibarkan, maka keluarga tersebut akan sakit. 

Itu sebabnya, Haji Lolo memegang peranan yang sangat penting untuk mempertahankan tradisi ula-ula yang ada kampung Wuring. “Kalau orang mau ambil adat harus melalui saya, karena saya yang memegang ula-ula ini sekarang,” ungkap Haji Lolo.

Acara pembukaan festival Kampung Wuring Siselo Susurang itu, dibuka dengan sembahyang. Setelah santap siang bersama keluarga Bajo Lolo, dipentaskan pencak silat oleh pemuda Wuring Tengah. Malam harinya, dilakukan pemutaran film dokumenter Ula-Ula yang telah dikerjakan oleh Komunitas KAHE sepanjang tahun 2020. 

Kampung Wuring yang berada di sisi utara Kota Maumere, ibukota Kabupaten Sikka itu sendiri telah dikenal lama sebagai salah satu perkampungan di atas air. Dalam beberapa tahun terakhir, kampung yang dihuni suku Bajo dan Bugis itu telah menjadi satu destinasi wisata sosial yang menarik magnet pelancong dan wisatawan.

Kehidupan masyarakat nan unik yang didominasi oleh nelayan telah menjadi daya tarik tersendiri untuk disingkap. 

Eka Putra Ngaku dari Komunitas Kahe Maumere menjelaskan, festival Siselo Susurang yang diinisiasi itu mencoba mengajak masyarakat untuk terlibat bertukar kabar dan berbagi cerita tentang kebudayaan, lingkungan, dan kehidupan sosial masyarakat Kampung Wuring itu. Festival itu dilaksanakan secara daring dan luring di Kampung Wuring pada 14 Februari hingga 27 Februari 2021.

Festival Siselo Susurang, menampilkan karya-karya film dokumenter, foto, buku resep, komik digital, dan dokumentasi proses yang dikerjakan bersama dengan warga kampung Wuring pada tahap penciptaan/produksi. Karya-karya tersebut didasarkan pada isu, potensi, dan modal yang ada di kalangan warga kampung dan Komunitas KAHE sebagai fasilitator sekaligus co-creator. 

Presentasi karya dan proses penciptaan dilakukan dalam beberapa bentuk, antara lain pameran dalam bentuk majalah dinding yang disebar di beberapa titik di tiga wilayah kampung Wuring, berikut perayaan syukuran, pertunjukan, dan diskusi yang dilakukan secara terbatas dengan protokol kesehatan yang ketat serta diseminasi pengetahuan dalam bentuk pameran/pertunjukan melalui kanal-kanal virtual.

"Siselo Susurang bukanlah aktivitas awal di Kampung Wuring. Sejak Januari 2020 hingga Februari 2021, Komunitas KAHE telah melakukan beragam aktivitas bersama masyarakat Kampung Wuring, melibatkan warga kampung Wuring Leko, para ibu, serta kaum muda," tambah Ticha Solapung, anggota Komunitas KAHE, lainnya.

Beberapa kegiatan yang sudah dilakukan, kata dia, antara lain live in, beberapa forum musyawarah, lokakarya, dokumentasi arsip dan potensi kesenian serta kebudayaan setempat. 

Siselo Susurang, dijelaskan dia, bertujuan untuk mengakomodasi isu-isu sosial, ekspresi politis, dan kegelisahan masyarakat Kampung Wuring, melalui medium kesenian. "Isu-isu, problem, dan suara kampung Wuring dipresentasikan melalui seni pertunjukan dan pameran-pameran seni rupa," ujarnya.

Ia mengatakan, Siselo Susurang diharapkan dapat memberi pengaruh pada pengetahuan dan kesadaran masyarakat luas mengenai eksistensi dan kekayaan kampung Wuring yang sering disepelekan atau bahkan tidak dianggap. 

Lebih luas lagi, Siselo Susurang hendak merangsang pengambilan kebijakan-kebijakan oleh pemerintah daerah perihal pembangunan sumber daya manusia di kampung Wuring, terutama dalam rangka memenuhi kebutuhan masyarakat untuk menyampaikan aspirasi mereka.

"Pada akhirnya, Siselo Susurang merupakan sebuah hasil, apresiasi, perayaan, bentuk syukur, juga usaha kecil untuk merawat peradaban serta melestarikan budaya dan kehidupan bersama warga Kampung Wuring," tambah dia.

Ia juga menjelaskan, dalam prosesnya, hal yang menjadi perhatian Siselo Susurang adalah tetap mengaktifkan dan membangun partisipasi warga kampung yang terlibat dalam proses penciptaan untuk menyebarkan gagasan dan pesan, kegembiraan dan capaian, aspirasi dan harapan mereka pertama-tama kepada sesama warga kampung Wuring. 

Siselo Susurang dibuka dengan pengajian yang dilakukan secara terbatas. Sementara itu, pameran dalam format wallpaper atau wall magazine dapat diakses di 6 titik selama 16 hari agar meminimalisasi kerumunan warga, sekaligus memberikan kesempatan melihat bagi masyarakat yang kebetulan berkesempatan melewatinya. 

Video-video dokumenter akan diputar melalui TV kabel. Rangkaian diskusi akan dilangsungkan melalui platform Zoom, sedangkan pameran dapat diakses secara bebas di platform website laune.id (jadwal terlampir). 

KATALOG PROMO HYPERMART Hari ini Minggu 21 Februari 2021, Diskon 60 Persen, Promo Beli 1 Gratis 1

ia menjelaskan, disamping adanya keterbatasan akibat pandemi Covid-19, beragam mode pertunjukan virtual juga sengaja dirancang sebagai sebuah upaya menggalang lebih banyak keterlibatan pihak terhadap isu sosial budaya di kampung Wuring, sekaligus menjadi jembatan untuk mempertemukan kebudayaan di kampung Wuring dengan publik yang lebih luas. (Laporan Reporter POS-KUPANG.COM, Ryan Nong )

Berita Terkini