Opini Pos Kupang

Janus dan Gerak Perubahan Tahun Baru 2021

Editor: Kanis Jehola
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Logo Pos Kupang

Oleh: Bayu Tonggo Mahasiswa STFK Ledalero, Tinggal di Ritapiret

POS-KUPANG.COM - Adalah seorang dewa bernama Janus (Latin: lanus = pintu). Dewa dalam Mitologi Romawi yang lazimnya dikaitkan dengan setiap perayaan Tahun Baru, merupakan seorang dewa yang digambarkan dengan dua wajah, dengan sebuah kunci di tangan kanannya dan tongkat di tangan kirinya.

Gambaran yang demikian membuat dewa Janus oleh bangsa Romawi dimaknai sebagai dewa gerbang, awal, perubahan, dewa transisi, serta disebut pula sebagai dewa permulaan dan akhir.

Gambaran dua wajah yang dimiliki dewa Janus dilihat secara khusus dalam pemaknaan satu wajah memandang masa lalu dan sisi wajah yang lain memandang ke arah masa depan. Nama bulan pertama dalam tahun, Januari sesungguhnya berasal dari nama dewa ini.

Baca juga: Lowongan Kerja Tenaga Kontrak KKP Tahun 2021 Bagi Tamatan SMA dan Sarjana, Ini Posisi dan Syaratnya

Perayaan Tahun Baru 2021 menjadi momen yang biasa dan sekaligus berbeda untuk dirayakan. Disebut biasa karena perayaan tahunbaru 2021 dirayakan dalam cakupan perayaan pergantian tahunyang lazimnya dilaksanakan dari tahun ke tahun.

Sementara berbeda, karena perayaan tahun baru 2021 dirayakan dalam tudung keberanjakan "dari tahun kemelut, absurd, tahun ber-aksi-nya Covid-19; menuju tahun dengan iming-iming rencana dan harapan terbebas dari kungkungan pandemi Covid-19".

Kesan perbedaan perayaan ini, sekurang-kurangnya boleh menghantar kita untuk ada dalam pemahaman dan pandangan reflektif akan gerak perayaan tahun baru 2021: dari dan menuju tersebut (perayaan dengan gerak perubahan).

Baca juga: Polisi Bubarkan Kerumunan Massa di Belu

Kita bergerak dalam pemaknaan dua wajah dalam gambaran dewa Janus. Bergerak dari keterpurukan situasi hidup di tahun kebrutalan pandemi Covid-19 sebagai sebuah masa lalu, menuju masa depan dengan buaian harapan kenyamanan hidup di tahun 2021.

Wajah Masa Lalu Janus di Tahun 2020

Wajah masa lalu ala Janus di tahun 2020 dilihat dengan kehadiran virus SARS-CoV-2 atau Covid-19 dengan Wuhan, Cina sebagai locus awal perkembangannya. Covid-19 hadir dengan gaya fatalisme-nya yang menciptakan ketergantungan bagi kehidupan 7,83 miliar manusia di bumi dan segala aspek kehidupan yang mengitarinya.

Manusia seolah-olah bergerak dan hidup di bawah payung nasib Corona Virus Disease 2019 itu. Kekhasan manusia sebagai homo socius, homo faber, dan homo ludens, dipaksa dan terpaksa tak bergerak bebas serta bahkan diharapkan untuk diam, demi menjamin keselamatan hidup manusia.

Sutta Dharmasaputra dalam ulasan kolom Kompas (14/12/2020), menyebut gambaran kehidupan manusia dan Covid-19 di tahun 2020 (wajah masa lalu) sebagai sebuah gim kompetisi.

Manusia tengah memasuki tahap bertempur melawan virus SARS-CoV-2. Apabila manusia menang dalam pertarungan itu, maka gim akan berlanjut. Jika kalah, maka game over.

Rupanya pertarungan itu banyak mengindikasikan kekalahan manusia. Covid-19 dengan gaya fatalismenya telah mengubah nasib manusia menuju jalur krisis kesehatan, ekonomi, sosial, dan politik. Apabila krisis itu menyatu maka, jelaslah kekalahan manusia dalam pertarungan (gim) itu.

Meski demikian, aspek kesehatan dunia dengan kemajuan teknologi vaksin-nya cukup memberi warna harapan bagi manusia untuk kembali ber-gagah dalam eksistensinya. Kehadiran vaksin secara implisit turut membuka ruang perubahan bagi manusia, untuk menjumput kebaharuan hidup di "wajah depan". Konteks perayaan tahun baru 2021 dapat menjadi jembatan perubahan itu.

Wajah Depan Janus dan Gerak Perubahan Tahun Baru 2021

Sejenak menengok gagasan tentang perubahan. Perubahan dilirik dalam tindak beralihnya dari keadaan sebelumnya (the before condition) menjadi keadaan setelahnya (the after condition). Atau pun dalam defenisi Lili KF (2007) menilik "perubahan adalah membuat sesuatu menjadi lain".

Kita bergerak dari the before condition masa lalu, kecamuk Covid -19 di tahun 2020 menuju tahun harapan 2021, masa depan, menjadi yang lain -terbebas dari kecamuk situasi Covid-19.

Searah dengan konsep perubahan tersebut, dalam dunia filsafat konsep perubahan boleh dilihat di dalam pemikiran Heraclitus, Filsuf kelahiran Efesus, Asia Kecil (540-480 SM). Ia dijuluki "si gelap", karena pemikiran-pemikirannya yang tidak mudah untuk dimengerti.

Pemikirannya tentang perubahan menjadi yang pertama dalam dunia filsafat. Ia menelurkan makna perubahannya dengan ungkapan khasnya "panta rhei kai uden menei" (semuanya mengalir dan tidak ada sesuatu pun yang tinggal tetap).

Makna ungkapannya itu, ia analogikan dengan pandangannya bahwa "you cannot step twice to the river, for the fresh waters are ever flowing up on you" -kamu tidak akan dapat terjun pada sungai yang sama untuk ke dua kalinya karena air sungai itu telah mengalir.

Panta rhei kai uden menei, mau menampakan bahwa segala sesuatu yang ada itu tidak akan tinggal tetap, semuanya akan berubah dan selalu ada dalam kemenja dian.

Karena kita tidak dapat masuk ke aliran sungai yang sama untuk kedua kalinya. Aliran sungai yang kita pijaki sebelumnya akan berbeda dengan aliran sungai yang saat ini. Aliran sungai akan terus mengalir.

Covid-19 dengan mode fatalisme-nya ada dalam pemaknaan kemenjadian ini. Ia dapat berubah dan kita yang meniti hidup di tengah fatalisme-nya dapat menikmati perubahan tersebut.

Dengan demikian, satu hal yang dapat ditilik dari konteks perubahan itu, ialah adanya pemahaman adaptasi yang mesti selalu hadir dalam sebuah fakta perubahan.

Sebagaimana dalam pandangan Charles Darwin, bukan spesies yang paling kuat atau paling cerdas yang mampu bertahan terhadap perubahan; melainkan yang paling mampu untuk beradaptasi.

Cukup memungkinkan bahwa problem Covid-19 telah melahirkan secercah harapan perubahan dengan hadirnya kemajuan teknologi vaksin. Ini menjadi sinyal positif bahwa Covid-19 itu panta rhei kai uden menei-Ia akan berlalu dan tidak akan tinggal tetap.

Meski demikian, Covid-19 telah mengklaim sebuah gaya fatalisme kehidupan yang turut memengaruhi ketergantungan hidup kita, untuk mau tak mau harus beradaptasi dengan ragam aspek kehidupan, yang begitu bergantung penuh dengan pergerakan pandemi Covid-19.

Adaptasi kita di tengah konteks perubahan fatalisme Covid-19, ialah bagaimana kita mesti bergerak ke dalam, serta ada bersama dengan gerak perubahan itu. Kita mesti bergerak (berubah) dari konteks kehidupan wajah belakang, masa lalu tahun 2020, yang terlalu banyak bermain dalam keegosentrisan -bertindak dengan pusat pergerakan adalah diri sendiri (my self).

Kita hidup dan bergerak demi kepentingan kebutuhan personal tanpa ada perhatian penuh pada pelaksanaan protokol kesehatan. Sehingga tidak heran bila sifat egosentris kita, memicu naiknya kurva kasus Covid-19, misalkan yang banyak hadir akibat kasus transmisi lokal.

Kita menuju wajah depannya Janus, dengan konteks kehidupan di tahun 2021 yang adem dengan model kehidupan altruistik. Kita hidup dengan berpayung pada tanggung jawab komunal; kebersamaan sebagai manusia yang sama-sama berkesistensi.

Apa yang ditindaki pada ranah personal haruslah serentak harus bergerak dalam pandangan, "apa yang saya tindaki ini, berdampak bagi yang lain atau tidak?".
Tahun 2021 sebagaimana dalam bahasa Sutta Dharmasaputra dalam ulasan kolom Kompas (14/12/2020) akan menjadi tahun penentuan bagi kita. Mampukah kita untuk beradaptasi dan berkolaborasi untuk melahirkan banyak inovasi? Ataukah justru kita terseleksi oleh pandemi? *

Berita Terkini