Renungan Harian Katolik

Renungan Harian Katolik, Selasa 15 Desember 2020: Siapa yang Selamat?

Editor: Agustinus Sape
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Pater Steph Tupeng Witin SVD

Renungan Harian Katolik, Selasa 15 Desember 2020: Siapa yang Selamat? ( Matius 21:28-32)

Oleh: Pater Steph Tupeng Witin SVD

POS-KUPANG.COM - Istilah "lonte" mendadak ramai dibicarakan di tengah perseteruan antara Pimpinan Front Pembela Islam (FPI) Rizieq Shihab dengan pendukung dan artis Nikita Mirzani.

Kata lonte muncul keluar dari mulut ustadz Maaher saat menanggapi cuitan twitt Nikita, kemudian menyusul dilantangkan Rizieq saat berceramah di panggung peringatan Maulid Nabi di Petamburan, Jakarta, 14 November 2020 lalu.

Berdasarkan Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), kata lonte atau lonté memiliki makna yang berkonotasi negatif. Lonte berarti perempuan jalang, wanita tuna susila, pelacur, sundal, jobong, cabo, atau munci. Sementara menurut Tesaurus Tematis Bahasa Indonesia, lonte bisa juga diartikan sebagai wanita nakal. 

Dengan menyebut atau mengenakan istilah "lonte" pada seseorang, maka di satu sisi si penyebut menganggap dan mencap seseorang sebagai seorang berdosa, kotor, najis; dan di lain sisi ia seakan menegaskan bahwa dirinya adalah orang suci, benar, tanpa dosa.

Penggunaan istilah itu bermakna bahwa yang berdosa pasti tercampakkan, tak selamat; sedangkan yang merasa diri "suci", benar, saleh pasti akan selamat.

Yesus sangat tahu bahwa para pemuka agama Yahudi selalu mengganggap diri saleh, suci, tak perlu pertobatan; dan memandang rendah orang berdosa seperti pemungut cukai, perempuan sundal.

Maka berhadapan dengan mereka saat mempertanyakan kuasa-Nya dalam mengajar, Yesus mengejutkan mereka dengan sebuah cerita perumpamaan tentang dua orang anak.

Yang sulung disuruh bekerja di kebun anggur oleh ayahnya. Ia bilang "ya", tapi ia tidak pergi. Yang kedua juga mendapat suruhan yang sama. Ia menjawab "tidak mau", tapi kemudian ia menyesal dan akhirnya pergi juga.

Di akhir cerita, Yesus menegaskan: "Aku berkata kepadamu, sesungguhnya pemungut-pemungut cukai dan perempuan-perempuan sundal akan mendahului kamu masuk ke dalam Kerajaan Allah" (Mat 21:31).

Dengan kisah ini, Yesus ingin mengobrak-abrik pemikiran, persepsi, sikap dan perilaku para pemuka Yahudi dan manusia siapa pun yang memandang dirinya sudah "beres". Bahwa orang yang merasa diri "benar", memang begitu gampang untuk mempertanyakan orang lain dan menganggap orang lain tak lagi pantas untuk jadi baik dan berbuat baik.

Orang yang hatinya telah kenyang dengan kesucian, memang tidak membutuhkan pertobatan atau pun penyelamatan. Padahal siapa sih yang harus diselamatkan, bila ia "tidak berdosa"?

KITA?
Yesus pernah mengatakan begini: "Bukan orang sehat yang memerlukan tabib, tetapi orang sakit" (Mat 9:12). Ia memaksudkan bahwa orang sakit, orang berdosa memang menjadi sasaran keselamatan. Ia datang bukan untuk memanggil orang benar, melainkan orang berdosa.

Namun kata-kata Yesus itu pun bermakna bahwa kita mesti memosisikan diri sebagai "orang berdosa". Dengan menyadari diri sebagai pendosa, tentu kita tidak merasa diri sudah benar dan begitu mudah untuk memandang rendah orang lain. Penyadaran diri dan pengakuan dosa sudah merupakan suatu bentuk pembenaran hidup dan sebuah langkah maju menuju pertobatan.

St. Agustinus berkata, "Jikalau seseorang dibenarkan dengan menyebut dirinya sebagai seorang berdosa, maka dengan menyebut dirinya demikian, ia sudah berhenti menjadi seorang berdosa" (Sermon 60:5). Tentu dalam posisi itu ada penyesalan serius dan mengubah secara radikal keputusan dan langkah yang salah.*

Simak juga renungan harian katolik berikut:

Berita Terkini